Kasus Dugaan Penipuan di Bekasi Terkatung-katung, Korban Merasa Diabaikan Polisi
Seorang warga Bekasi Selatan, Faizal Soewandono, mengungkapkan kekecewaannya atas lambannya penanganan kasus dugaan penipuan yang telah ia laporkan ke Polres Metro Bekasi Kota sejak lima tahun lalu. Kasus ini, yang melibatkan seorang rekan berinisial AD alias S, bermula dari tawaran proyek pengurusan sertifikat tanah dengan iming-iming keuntungan dari penjualan tanah setelah sertifikat selesai diurus.
Modus yang digunakan adalah peminjaman modal sebesar Rp 485 juta kepada Dono, dengan janji akan dikembalikan setelah proses sertifikasi selesai. Dono pun menyetorkan dana tersebut sesuai permintaan S. Namun, setelah menerima modal, S tak kunjung menunaikan janjinya untuk mengurus sertifikat tanah. Kecurigaan Dono semakin memuncak ketika ia mendapati bahwa tidak ada perkembangan signifikan dalam proses pengurusan tanah selama periode Januari hingga Desember 2019.
Menyadari adanya potensi penipuan, Dono mencoba memberikan kesempatan kepada rekannya untuk mengembalikan modal yang telah diberikan. Namun, hingga awal tahun 2020, S tetap tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan uang tersebut. Merasa dirugikan, Dono akhirnya memutuskan untuk melaporkan S ke Polres Metro Bekasi Kota atas dugaan penipuan dan penggelapan. Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor STPL/69/K/I/SPKT/Restro Bks Kota dan ditangani oleh penyidik dari Unit Jatanras Satreskrim berinisial R.
Alih-alih mendapatkan kepastian hukum, Dono justru merasa dipermainkan. Ia mengaku dimintai sejumlah uang oleh penyidik untuk mempercepat proses penanganan kasus. Permintaan tersebut meliputi biaya untuk mengurus perkara dan menggelar perkara. Ironisnya, penyidik menjanjikan penyelesaian kasus yang cepat dan bahkan meyakinkan Dono bahwa rekannya akan mengembalikan uang modal yang telah diberikan.
Pada Desember 2020, penyidik tiba-tiba memberitahukan bahwa terlapor bersedia mengembalikan uang secara bertahap, dengan cicilan awal sebesar Rp 190 juta. Dono sebenarnya enggan menerima pengembalian uang tersebut karena khawatir kasus pidana yang sedang ia tempuh akan beralih menjadi perkara perdata. Namun, penyidik meyakinkan Dono bahwa kasus tersebut akan tetap diproses secara pidana.
Keanehan kembali muncul ketika uang pengembalian tersebut diserahkan oleh terlapor melalui penyidik, yang kemudian baru diserahkan kepada Dono. Dalam pertemuan di sebuah rumah makan cepat saji, Dono menerima uang pengembalian, namun jumlahnya tidak sesuai dengan yang diserahkan oleh terlapor kepada penyidik. Menurut pengakuan Dono, sekitar Rp 35 juta dipotong sebagai "titipan" untuk sejumlah petinggi Satreskrim pada saat itu. Meski demikian, Dono tetap menerima uang tersebut dengan harapan kasusnya akan segera menemui titik terang.
Penyidik bahkan sempat menunjukkan surat perjanjian pengembalian sisa uang oleh terlapor, yang ditandatangani di atas materai dan berisi jadwal pencicilan sisa pengembalian uang pada bulan Januari, Februari, Maret, April, dan Mei 2021. Namun, hingga waktu yang dijanjikan, tidak ada pengembalian uang susulan. Merasa dipermainkan, Dono melaporkan penyidik tersebut ke Paminal Polres Metro Bekasi Kota. Akibatnya, penyidik R disidangkan kode etik dan menjalani hukuman selama 21 hari. Namun, setelah sidang kode etik, penanganan kasus Dono justru semakin tidak jelas.
Kini, Dono hanya berharap agar kasusnya dapat segera ditangani dengan serius dan mendapatkan kepastian hukum setelah menunggu selama lima tahun. Ia mengeluhkan berbagai alasan dan alibi yang diberikan oleh pihak kepolisian yang menyebabkan kasusnya tak kunjung dilanjutkan atau ditingkatkan ke tahap gelar perkara.
Konfirmasi terkait kasus ini telah diupayakan kepada Kepala Satreskrim Polres Metro Bekasi Kota, namun hingga saat ini belum mendapatkan respons.