Sengketa Lahan Guru Honorer di Sleman: BPN Imbau Penyelesaian Damai di Tengah Pusaran Mafia Tanah
Kasus dugaan praktik mafia tanah yang menimpa seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman dan istrinya, Evi Fatimah, di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mendapat perhatian serius dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.
Kepala Kantor Pertanahan Sleman, Imam Nawawi, menjelaskan kronologi kasus ini berdasarkan catatan yang ada di BPN. Menurutnya, sertifikat tanah atas nama Evi Fatimah awalnya diperoleh melalui warisan pada tahun 2011. Seiring berjalannya waktu, terjadi beberapa kali pemeliharaan data hingga akhirnya muncul permasalahan sengketa yang berujung pada pemblokiran sertifikat.
Nawawi mengungkapkan bahwa peralihan nama sertifikat milik Evi Fatimah diduga kuat terjadi akibat tindak penipuan. Informasi yang dihimpun BPN mengindikasikan bahwa sertifikat tersebut dipinjam oleh seseorang dengan dalih untuk keperluan sewa-menyewa rumah. Namun, sertifikat tersebut justru diagunkan ke bank tanpa sepengetahuan Evi Fatimah.
"Kenapa bisa beralih, sepertinya teman-teman pun sudah tahu, ada indikasi kemungkinan ada penipuan dari yang pinjam sertifikat, yang dulu infonya mengontrak tanah, itulah awal asal muasalnya, sehingga jadi masalah," ujar Nawawi.
BPN Sleman sendiri telah menerima permohonan pemblokiran sertifikat dari Polresta Sleman terkait laporan pidana penipuan yang diajukan oleh Evi Fatimah. Namun, sesuai dengan peraturan yang berlaku, masa berlaku pemblokiran sertifikat hanya 30 hari.
Setelah masa pemblokiran berakhir, sertifikat tersebut dilelang oleh bank melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) karena kredit yang diagunkan macet. Dalam proses lelang tersebut, RZA menjadi pemenang dan BPN Sleman kemudian memproses peralihan nama sertifikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Jadi administrasi sudah terpenuhi, sehingga pencatatan kami tidak ada alasan untuk menolak, untuk mencatat atas lelang tersebut," jelas Nawawi.
Menyikapi situasi ini, BPN Sleman menyarankan agar Evi Fatimah mengupayakan penyelesaian secara damai dengan pemilik sertifikat saat ini, yaitu RZA. Nawawi menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam penyelesaian sengketa ini, mengingat Evi Fatimah diduga kuat menjadi korban penipuan.
"Barangkali ya, pemegang hak baru yang memperoleh dari lelang itu bisa diajak damai," kata Nawawi.
Namun, apabila upaya damai tidak membuahkan hasil, BPN Sleman menyarankan agar Evi Fatimah menempuh jalur hukum melalui pengadilan. Nawawi mengingatkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan penyelesaian sengketa harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Kasus ini bermula ketika Evi Fatimah menyewakan rumahnya kepada dua orang berinisial SJ dan SH pada tahun 2011 untuk usaha konveksi. Keduanya meminta sertifikat tanah sebagai jaminan sebelum menempati rumah tersebut. Evi kemudian dibawa ke notaris dan diminta menandatangani dokumen tanpa diberi kesempatan untuk membacanya. Belakangan, sertifikat tersebut diketahui telah diagunkan ke bank dan beralih nama menjadi SJ.
Hedi Ludiman telah melaporkan kasus ini ke polisi. SH berhasil ditangkap dan divonis hukuman penjara, sementara SJ masih berstatus DPO. Hedi juga telah menggugat SJ, SH, dan pihak bank secara perdata di Pengadilan Negeri Sleman, namun gugatannya ditolak.
Pada tahun 2024, sertifikat tanah tersebut kembali beralih nama ke RZA melalui proses lelang.