Mahkamah Konstitusi Anulir Kemenangan Pilkada Barito Utara Akibat Praktik Politik Uang Sistematis
Pilkada Barito Utara Dibatalkan Akibat Politik Uang
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara tahun 2024 telah mengguncang pilar demokrasi lokal. MK, melalui Putusan Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2024, mengambil tindakan tegas dengan mendiskualifikasi kedua pasangan calon yang terlibat dalam praktik politik uang yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) selama Pemungutan Suara Ulang (PSU). Keputusan ini tidak hanya mencoreng integritas proses pemilihan, tetapi juga membuka tabir gelap praktik korupsi politik yang merajalela di tingkat daerah.
Terungkap bahwa para pemilih menerima imbalan finansial yang signifikan, berkisar antara Rp 6,5 juta hingga Rp 64 juta per keluarga, disertai janji manis perjalanan umrah. Akibatnya, MK memerintahkan pelaksanaan pemilihan ulang secara menyeluruh dalam waktu 90 hari, dengan melibatkan pasangan calon yang baru. Keputusan ini menjadi preseden penting dalam upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran pemilu yang merusak esensi demokrasi.
Korupsi Politik dan Erosi Kedaulatan Rakyat
Kasus Pilkada Barito Utara adalah cerminan dari korupsi politik, di mana proses demokrasi dicemari oleh transaksi ilegal antara pemilih dan kandidat demi keuntungan elektoral. Praktik politik uang bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga bentuk korupsi sistemik yang menggerogoti legitimasi demokrasi.
Dalam konteks ini, penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi krusial. Namun, seringkali penegakan hukum hanya bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar permasalahan. Hal ini menunjukkan lemahnya paradigma hukum formalistik yang hanya berorientasi pada aturan, bukan pada nilai dan keadilan substantif.
Teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick relevan dalam konteks ini. Hukum tidak boleh netral terhadap nilai, melainkan harus berpihak pada tujuan sosial, memiliki kapasitas korektif terhadap ketimpangan, dan melibatkan masyarakat sipil sebagai mitra kontrol kekuasaan. Dalam kasus politik uang, pendekatan hukum responsif menuntut agar negara tidak hanya menindak pelaku secara normatif, tetapi juga menggali akar strukturalnya: ketimpangan ekonomi, rendahnya pendidikan politik, serta lemahnya pengawasan oleh lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu.
Politik uang adalah bentuk nyata dari devitalisasi kedaulatan rakyat. Ketika pemilih membuat keputusan bukan karena program atau integritas kandidat, tetapi karena imbalan materi, maka suara rakyat tidak lagi merupakan ekspresi kehendak bebas, melainkan hasil kooptasi. Ini adalah bentuk pembusukan demokrasi dari dalam (internal decay), yang sulit diatasi hanya dengan pendekatan hukum formil.
Reformasi Hukum dan Penguatan Pengawasan
Untuk melawan dominasi politik uang, penegakan hukum tidak cukup jika hanya mengandalkan mekanisme prosedural. Diperlukan reformasi hukum yang bersifat transformatif: hukum sebagai gerakan sosial yang melibatkan masyarakat sipil, media, dan institusi pendidikan politik untuk membangun kesadaran kritis pemilih.
Langkah-langkah seperti:
- Memperkuat regulasi pembiayaan kampanye
- Digitalisasi pelaporan dana kampanye secara real-time
- Pembentukan pengawas independen dari masyarakat sipil
merupakan aspek-aspek yang perlu diperkuat lebih masif guna mengintegrasikan etika, kontrol sosial, dan partisipasi publik dalam mencegah politik uang.
Kasus Pilkada Barito Utara menjadi momentum untuk merefleksikan kembali kualitas demokrasi di Indonesia. Putusan MK memberikan harapan bahwa hukum masih dapat menjadi benteng terakhir dalam melindungi kedaulatan rakyat dari praktik korupsi politik. Namun, diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memberantas politik uang secara sistematis dan membangun budaya politik yang lebih bersih dan berintegritas.