Lonjakan Harga Kelapa: Permintaan Susu Kelapa di China dan Kebijakan Ekspor Jadi Sorotan
Kenaikan harga kelapa di pasar tradisional menjadi perhatian utama dalam beberapa waktu terakhir. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengungkapkan salah satu faktor pemicu mahalnya harga kelapa adalah peningkatan permintaan dari China, di mana kelapa diolah menjadi pengganti susu dalam minuman kopi.
"Kelapa sekarang langka, karena kelapa sama teman-teman dari Tiongkok (China) diolah jadi susu," ujar Zulkifli Hasan dalam sebuah acara.
Fenomena ini menyebabkan perubahan tren konsumsi di China, yang berdampak signifikan pada pasar kelapa global. Peningkatan permintaan kelapa untuk produksi susu kelapa di China secara tidak langsung mengurangi pasokan kelapa di pasar domestik Indonesia, sehingga memicu kenaikan harga.
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan ekspor kelapa yang belum optimal. Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menyoroti bahwa ekspor kelapa dalam bentuk bulat lebih dominan karena belum adanya regulasi tata niaga yang memadai. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan kelapa di pasar domestik dan berdampak pada konsumen rumah tangga.
"Sehingga menyebabkan kenaikan harga dan konsumen rumah tangga menjadi korban atas kenaikan harga tersebut," tutur Agus Gumiwang Kartasasmita.
Dampak Kenaikan Harga di Tingkat Pedagang dan Konsumen
Kenaikan harga kelapa ini dirasakan langsung oleh pedagang dan konsumen. Di Pasar Paseban, Jakarta Pusat, seorang pedagang kelapa bernama Agus (60) mengungkapkan bahwa harga kelapa telah naik lebih dari dua kali lipat.
"Dulu kelapa Rp 10.000-an. Sekarang bisa sampai Rp 25.000. Setelah Lebaran malah makin naik," ujar Agus.
Kondisi serupa juga terjadi di Pasar Tambun, Bekasi. Seorang distributor kelapa parut, Juari (41), mengatakan bahwa kenaikan harga sudah terjadi sejak sebelum Ramadhan, dengan harga eceran kelapa parut naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per butir.
Faktor Ekspor dan Persaingan Harga
Juari menduga kenaikan harga ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan ekspor kelapa parut ke Thailand. Hal ini membuat petani menerapkan harga jual yang sama, baik untuk pasar ekspor maupun dalam negeri.
"Jadi sekarang harga kelapa ikut harga ekspor. Petani menjual ke kami dengan harga yang sama seperti untuk ekspor," ujarnya.
Upaya Pemerintah Menstabilkan Harga
Pemerintah menyadari permasalahan ini dan berupaya mencari solusi untuk menstabilkan harga kelapa. Salah satu usulan yang muncul adalah penerapan pungutan ekspor untuk kelapa. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan kebijakan tata niaga yang lebih komprehensif, termasuk pelarangan ekspor kelapa dalam bentuk bulat.
Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara penghasil kelapa lima besar dunia belum memiliki kebijakan tata niaga bahan baku kelapa yang memadai. Ia mencontohkan negara-negara produsen kelapa lainnya seperti Filipina, India, Thailand, dan Sri Lanka telah menerapkan kebijakan larangan ekspor untuk menjaga nilai tambah ekonomi kelapa, lapangan pekerjaan, dan keberlangsungan industri pengolahan kelapa.
Konsumsi Domestik dan Kebutuhan Industri
Kebutuhan konsumsi kelapa di Indonesia, terutama untuk rumah tangga dan industri kecil dan menengah (IKM), mencapai sekitar 2 miliar butir per tahun. Oleh karena itu, ketersediaan pasokan kelapa di pasar domestik menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan menjaga stabilitas harga.