AFPI Bantah Tuduhan Kartel Bunga Pinjol, Sebut Kebijakan Bunga Awalnya atas Permintaan OJK

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah keras tuduhan praktik kartel bunga pinjaman online (pinjol) yang tengah diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Penjelasan ini muncul sebagai respons terhadap investigasi KPPU terkait dugaan penetapan bunga seragam oleh 97 perusahaan pinjol yang tergabung dalam AFPI. KPPU menyoroti dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dengan indikasi keseragaman suku bunga yang dianggap membatasi kompetisi dan merugikan konsumen.

Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019-2023, Sunu Widyatmoko, menegaskan bahwa penetapan batas bunga maksimum pertama kali dilakukan pada tahun 2018 melalui Code of Conduct sebesar 0,8 persen. Kebijakan ini, menurutnya, bukan bertujuan untuk menyeragamkan harga, melainkan untuk menurunkan bunga pinjol yang saat itu sangat tinggi dan membedakan pinjol legal dari pinjol ilegal. Sunu menjelaskan bahwa bunga pinjol ilegal pada masa itu bisa mencapai lebih dari 1 persen per hari, bahkan ada yang 2-3 kali lipat, sehingga batas bunga maksimum bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik bunga yang mencekik. Lebih lanjut, Sunu mengungkapkan bahwa penetapan bunga pinjol pada tahun 2018 tersebut dilakukan atas permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membedakan pinjol legal yang memiliki izin OJK dari pinjol ilegal. Kala itu, platform pinjol yang menetapkan bunga di atas 0,8 persen dianggap ilegal.

Sekretaris Jenderal AFPI saat ini, Ronald Andi Kasim, menambahkan bahwa bunga yang ditetapkan AFPI adalah batas atas, bukan harga tetap. Masing-masing platform pinjol memiliki kebebasan untuk menetapkan bunga di bawah batas maksimum, berdasarkan risiko, jenis pinjaman, dan kesepakatan antara pemberi pinjaman (lender) dan peminjam (borrower). Tidak ada paksaan harga seragam dalam industri ini.

Pada tahun 2021, AFPI menurunkan batas atas bunga pinjaman menjadi 0,4 persen, juga atas permintaan OJK. Penurunan ini bertujuan untuk mempersempit selisih bunga antara pinjol legal dan ilegal, sehingga masyarakat lebih tertarik untuk menggunakan pinjol legal. Sunu menjelaskan bahwa OJK melihat bunga 0,8 persen masih memungkinkan fintech ilegal untuk beroperasi dengan bunga yang tidak jauh berbeda, sehingga sulit dibedakan oleh masyarakat.

Ronald menjelaskan bahwa AFPI akhirnya mencabut batas bunga maksimum dan menyesuaikan dengan ketentuan regulator setelah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UUP2SK) disahkan dan OJK menerbitkan SEOJK Nomor 19 Tahun 2023 yang secara eksplisit mengatur bunga pinjaman fintech. Ronald menegaskan bahwa pengaturan bunga yang ditetapkan AFPI pada 2020-2023 adalah upaya untuk membentuk ekosistem pendanaan digital yang sehat, adil, dan sesuai dengan arah kebijakan OJK. AFPI berupaya memberikan bunga yang lebih ringan kepada peminjam tanpa mengurangi minat pemberi pinjaman, sehingga akses pendanaan tetap terjaga.