Warisan Kebijaksanaan Jose Mujica: Refleksi tentang Teknologi dan Kemanusiaan
Kepergian Jose Mujica, mantan Presiden Uruguay yang dikenal dengan kesederhanaannya, meninggalkan duka mendalam sekaligus warisan pemikiran yang relevan hingga kini. Mujica, yang wafat di usia 89 tahun di Montevideo pada hari Selasa, 13 Mei 2025, bukan hanya dikenang sebagai pemimpin negara, tetapi juga sebagai sosok bijak yang kerap menyampaikan pandangan jujur dan apa adanya tentang kehidupan dan masyarakat.
Salah satu pandangan yang menarik dari Mujica adalah refleksi tentang teknologi, khususnya smartphone, dan dampaknya terhadap interaksi sosial serta pemikiran manusia. Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada Juni 2024, Mujica mengungkapkan alasannya meninggalkan smartphone empat tahun sebelumnya. Ia merasa terganggu oleh arus informasi yang tak berkesudahan dan percakapan-percakapan dangkal yang mendominasi dunia digital.
"Itu membuat saya gila. Setiap hari bicara omong kosong. Kita harus belajar bicara dengan dalam diri kita. Dialah yang menyelamatkan hidup saya," ujarnya, menekankan pentingnya introspeksi dan koneksi dengan diri sendiri.
Lebih jauh, Mujica menyoroti bahwa masalah utama bukanlah pada teknologi itu sendiri, melainkan pada ketidaksiapan manusia dalam menghadapinya. Ia berpendapat bahwa penggunaan smartphone yang tidak bijak dapat menciptakan bencana dalam kehidupan sosial dan pribadi.
Bagi Mujica, interaksi tatap muka tetaplah tak tergantikan. Ia percaya bahwa komunikasi yang sesungguhnya melibatkan lebih dari sekadar kata-kata, tetapi juga bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Unsur-unsur ini, menurutnya, hilang dalam komunikasi digital, sehingga mengurangi kedalaman dan makna dari interaksi antarmanusia.
"Komunikasi langsung itu tidak tergantikan. Kita tidak seperti robot. Kita belajar untuk berpikir, tetapi pertama-tama kita adalah makhluk yang emosional. Kita percaya bahwa kita memutuskan dengan kepala kita. Sering kali kepala menemukan argumen untuk membenarkan keputusan yang dibuat oleh perasaan. Kita tidak sesadar yang kita kira," tutur mantan pemimpin tersebut.
Mujica juga menyinggung tentang pentingnya belajar dari alam. Ia mengagumi alam dan melihatnya sebagai sumber inspirasi dan kebijaksanaan. Ia mencontohkan semut sebagai contoh komunitas yang terorganisir dengan baik dan burung hornero yang secara alami memiliki kemampuan arsitektur.
"Saya mengagumi alam. Saya hampir menganut semacam panteisme. Anda harus memiliki mata untuk melihatnya," lanjutnya.
Walaupun mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang emosional dan sering kali bertindak berdasarkan naluri, Mujica melihat hal ini sebagai bagian dari mekanisme yang membuat manusia tetap hidup dan mampu menjalani kehidupan sehari-hari.
"Itu seperti sapi yang mengikuti apa yang hijau. Jika ada hijau, ada makanan. Akan sulit untuk melepaskan jati diri kita," tutup Mujica, menggambarkan kompleksitas sifat manusia.