Harapan Baru dalam Pemberantasan TBC: Uji Klinis Vaksin M72 Didukung Pendanaan Global
Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia, terutama menyerang usia produktif. Pengalaman pahit dialami oleh Galih, yang harus berjuang melawan TBC hingga dua kali. Gejala batuk yang tak kunjung reda mengganggu aktivitasnya, dan biaya pengobatan yang mahal sempat membuatnya putus asa. Sayangnya, kurangnya pemahaman tentang pengobatan TBC membuatnya berhenti berobat sebelum tuntas, yang berujung pada infeksi ulang.
Direktur Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina Isturini, mengakui bahwa vaksin BCG yang selama ini digunakan hanya efektif untuk anak-anak. Sementara, kelompok usia produktif justru menjadi penyumbang angka TBC tertinggi. Dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahabatan, Erlina Burhan, menambahkan bahwa vaksin BCG memang efektif melindungi balita, tetapi tidak memberikan perlindungan jangka panjang hingga dewasa.
Harapan baru muncul dengan adanya vaksin M72/AS01E-4, yang saat ini sedang menjalani uji klinis di berbagai negara, termasuk Indonesia. Vaksin ini diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi orang dewasa yang rentan terhadap TBC. Vaksin M72 dikembangkan sejak 1999 dan menunjukkan efektivitas hingga 50 persen dalam mencegah TBC aktif pada orang yang sudah terinfeksi laten. Uji klinis fase ketiga melibatkan sekitar 20 ribu partisipan di berbagai negara dengan angka TBC tertinggi.
Prof. Erlina Burhan, salah satu peneliti utama vaksin ini, menjelaskan bahwa uji klinis di Indonesia telah dilakukan sejak September 2024 dan melibatkan 2.095 peserta sehat berusia 15-44 tahun. Para partisipan menerima dua kali suntikan dengan jarak satu bulan dan akan terus dipantau hingga 2028 untuk mengevaluasi efek samping dan efektivitas vaksin. Pendanaan untuk penelitian ini juga didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation setelah inisiator awalnya, Glaxo Smith Kline (GSK), mengalami keterbatasan dana.
Namun, kehadiran vaksin M72 juga menuai berbagai respons, termasuk keraguan dan teori konspirasi. Dokter Tan Shot Yen, pemerhati kebijakan kesehatan, mengkritik kurangnya komunikasi pemerintah terkait vaksin ini kepada masyarakat. Ia mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman penolakan vaksin COVID-19 dan meningkatkan sosialisasi tentang uji klinis fase III.
Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, menyoroti lonjakan misinformasi terkait kesehatan dan pentingnya pelibatan publik untuk melawan hoaks. Ia menyarankan pemerintah untuk membentuk forum antihoaks dan mengembangkan unit-unit pengecek fakta.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, dr. Henry Diatmo, menekankan bahwa pengembangan vaksin TBC membutuhkan biaya besar dan merupakan upaya penting untuk mencapai target eliminasi TBC di Indonesia pada tahun 2030. Ia juga menegaskan bahwa uji klinis ini bukanlah percobaan terhadap manusia, melainkan proses sukarela yang telah melalui persetujuan resmi dari peserta.
BPJS Kesehatan mencatat peningkatan kunjungan ke rumah sakit terkait TBC menjadi 2 juta pada tahun 2024. Ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat dapat menyebabkan resistensi obat dan meningkatkan biaya pengobatan. BPJS Kesehatan telah meluncurkan dashboard monitoring inovasi pembiayaan tuberkulosis untuk mendeteksi kepatuhan penderita dalam minum obat.