Refleksi Hari Kebangkitan Nasional: Urgensi Penegakan Hukum dan Nasionalisme yang Berkeadilan

Momentum Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei, selayaknya tidak hanya menjadi seremonial belaka. Lebih dari itu, peringatan ini harus menjadi wahana refleksi kritis terhadap kondisi kebangsaan, khususnya dalam konteks penegakan hukum dan implementasi nilai-nilai nasionalisme di era kontemporer.

Sejarah mencatat, Boedi Oetomo, organisasi yang lahir pada tahun 1908, menjadi simbol kebangkitan kesadaran nasional untuk melawan kolonialisme. Namun, tantangan bangsa saat ini telah bertransformasi. Musuh yang dihadapi bukan lagi penjajah fisik, melainkan praktik-praktik koruptif, politik uang, dan penegakan hukum yang tebang pilih yang menggerogoti sendi-sendi keadilan.

Nasionalisme di era modern tidak lagi sebatas perjuangan mempertahankan teritorial, tetapi juga perjuangan menegakkan integritas hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum seharusnya menjadi panglima, bukan alat kepentingan bagi kelompok tertentu. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Para pejabat publik kerap kali menjadi contoh buruk dalam praktik kekuasaan, mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan moralitas.

Kondisi ini diperparah dengan praktik politik uang yang telah mengakar dan dilanggengkan secara sistemik. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan, justru terlibat dalam praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini secara tidak langsung 'mendidik' masyarakat untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, termasuk dengan melakukan praktik korupsi.

Nasionalisme Hukum yang Terkoyak

Dalam situasi seperti ini, nasionalisme kehilangan makna substantifnya. Nasionalisme hukum tercerabut dari akarnya dan hanya menjadi jargon kosong yang terpampang di baliho-baliho. Abdul Ghoffar (2020) menekankan bahwa tantangan kebangkitan nasional saat ini adalah melawan fenomena hukum yang timpang. Nasionalisme harus dimaknai sebagai keberanian menegakkan hukum yang adil, meskipun bertentangan dengan kekuasaan dan status quo.

Namun, keberanian ini tidak mudah diwujudkan. Banyak pihak yang memilih untuk diam karena takut akan ancaman, pengucilan, dan bahkan kriminalisasi. Akibatnya, kritik terhadap penegakan hukum seringkali dibungkam.

Kebangkitan Kesadaran Hukum

Oleh karena itu, kebangkitan nasional yang sejati adalah kebangkitan kesadaran hukum. Sebuah keberanian kolektif untuk mengembalikan hukum sebagai alat pembebasan, bukan alat penindasan. Para pejabat publik di semua lini harus menyadari bahwa mereka adalah teladan. Setiap pelanggaran hukum yang mereka lakukan akan menjadi pembenaran bagi masyarakat untuk melakukan hal serupa.

Nasionalisme hukum yang dibutuhkan saat ini adalah nasionalisme yang hidup di dalam hati nurani, bukan sekadar slogan di bibir. Nasionalisme yang terwujud dalam keberanian bersuara, membela yang lemah, melawan penyalahgunaan wewenang, dan membangun budaya hukum yang adil dan inklusif.

Seperti semangat Boedi Oetomo, kebangkitan sejati adalah kebangkitan kesadaran kolektif. Hukum yang adil hanya akan lahir dari masyarakat yang sadar akan nilai-nilai keadilan. Sudah saatnya kita mengubah cara pandang: mencintai negeri ini berarti siap membela hukum, bahkan ketika hukum harus menindak mereka yang berkuasa. Dalam negara hukum yang demokratis, tidak ada kekuasaan yang kebal. Tidak ada nasionalisme tanpa keadilan, dan jika itu terjadi, maka itu bukanlah kebangkitan, melainkan kemunduran.