Atalia Praratya Desak DPR Tingkatkan Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual yang Mengkhawatirkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak untuk meningkatkan upaya pencegahan kekerasan seksual yang menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan. Desakan ini datang dari Anggota Komisi VIII DPR RI, Atalia Praratya, yang menyoroti perlunya sosialisasi yang lebih luas terkait Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Atalia menyampaikan keprihatinannya dalam forum Ikatan Istri Fraksi Partai Golkar (IIFPG) yang bertajuk 'Perempuan dan Anak; Ketika Kekerasan Tersembunyi di Balik Sosok Tak Terduga' di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. Forum ini juga menghadirkan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Dian Sasmita, yang mengungkapkan data yang mencemaskan. Menurut Dian, setiap jam, setidaknya dua anak menjadi korban kekerasan, dengan rentang usia antara 13 hingga 17 tahun.
Dian Sasmita juga menyoroti keterbatasan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di berbagai daerah. Keterbatasan ini menghambat akses perlindungan bagi anak-anak korban kekerasan, sehingga banyak kasus yang tidak tertangani dengan baik.
Atalia secara khusus menyoroti kasus-kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di Jawa Barat, termasuk kasus yang melibatkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang mencuat di awal tahun 2025. Ia menekankan bahwa semua pihak tidak boleh tinggal diam dan harus bersatu untuk mengatasi masalah ini.
"Saya merasa bahwa hari ini kita tidak boleh diam, kita harus bersama-sama karena kita tahu secara regulasi, pemerintah ini sudah mendorong, termasuk DPR ini mendorong terkait dengan hadirnya Undang-Undang, dari mulai Undang-Undang KDRT," tegas Atalia.
Lebih lanjut, Atalia meminta pemerintah untuk lebih gencar dalam mensosialisasikan undang-undang terkait kekerasan seksual kepada masyarakat. Ia berharap dengan pemahaman yang lebih baik tentang undang-undang ini, kasus-kasus kekerasan seksual dapat dicegah dan ditangani dengan lebih efektif.
"Saya kira bagaimana pemerintah membuat Undang-Undang ini perlu untuk disosialisasikan Karena ternyata tidak banyak yang mengetahui berkait dengan hadirnya Undang-Undang ini tentu perlu ada turunannya dan perlu diperkuat dengan perpres dan lain sebagainya," jelasnya.
Senada dengan Atalia, Pembina IIFPG, Sri Suparni Bahlil, juga menyoroti maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Ia menyerukan agar semua pihak terlibat aktif dalam memberantas kekerasan seksual, dimulai dari lingkungan terdekat.
"Kita ketahui bersama bahwa fenomena kerasan terhadap perempuan dan anak ini sering terjadi, bahkan setiap detik, setiap menit kita selalu membaca di sosial media," kata Sri Suparni.
"Ini adalah tugas kita bersama, bukan hanya tugas pemerintah ya. Kita juga wajib untuk bergandeng tangan untuk membantu memberantas kekerasan, kekerasan atau kegiatan yang sifatnya mengganggu atau mungkin ya sangat-sangat membutuhkan kepedulian dari kita semua," imbuhnya.
Ketua IIFPG, Luluk Maknuniah Sarmuji, menambahkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak seringkali dilakukan oleh tokoh agama, yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung. Ia menekankan pentingnya peran perempuan dan anak dalam kemajuan suatu negara.
"Kekerasan perempuan itu dilakukan oleh sosok-sosok tidak diduga sebelumnya, dia mampu melakukan itu dengan tingkat pendidikannya dan tingkat keagamaannya. Kalau kita mau membuat suatu negara itu maju modal terbesar suatu negara itu perempuan dan anak," ujar Luluk.
Luluk juga menyoroti bahwa banyak kasus kekerasan berbasis gender yang tidak terungkap ke publik karena korban tidak berani berbicara.
"Kekerasan berbasis gender masih terjadi. Karena ternyata ada banyak sekali kasus yang tidak terblow up sama media. Terutama korbannya langsung belum ada keberanian dan belum speak up," tegasnya.
Beberapa poin penting yang dibahas dalam forum tersebut meliputi:
- Peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
- Keterbatasan UPTD PPA dalam memberikan perlindungan.
- Pentingnya sosialisasi UU TPKS dan KDRT.
- Peran tokoh agama dalam mencegah kekerasan seksual.
- Kurangnya keberanian korban untuk melaporkan kasus kekerasan.