Konflik India-Pakistan 2025: Industri Pertahanan China Raih Sorotan di Tengah Ketegangan
Konflik bersenjata yang berlangsung selama empat hari antara India dan Pakistan pada awal Mei 2025 telah memicu perdebatan mengenai pihak yang sebenarnya diuntungkan dari situasi tersebut. Meskipun kedua negara mengklaim kemenangan setelah gencatan senjata, perhatian global justru tertuju pada peran yang dimainkan oleh industri pertahanan China.
Ketegangan meningkat setelah India melancarkan serangan udara terhadap apa yang mereka klaim sebagai "infrastruktur teroris" di wilayah Pakistan. Serangan ini merupakan respons terhadap insiden mematikan di Pahalgam, Kashmir, yang merenggut nyawa puluhan orang. India menuduh kelompok militan yang berbasis di Pakistan bertanggung jawab atas serangan tersebut, namun Islamabad membantah keterlibatan apa pun.
Seiring berjalannya konflik, India meluncurkan Operasi Sindoor, yang dengan cepat berubah menjadi pertempuran udara terbuka. Kedua negara mengerahkan jet tempur, rudal jarak jauh, dan drone dalam konfrontasi tersebut. Meskipun kedua belah pihak mengklaim bahwa pesawat mereka tidak secara langsung melintasi perbatasan, mereka mengakui telah meluncurkan rudal dari jarak jauh.
Pakistan mengklaim telah berhasil menembak jatuh sejumlah jet tempur India, termasuk pesawat Rafale buatan Prancis. Namun, India belum memberikan konfirmasi atas klaim tersebut. Seorang pejabat Angkatan Udara India menyatakan bahwa kerugian adalah bagian dari pertempuran dan menegaskan bahwa semua pilot mereka telah kembali dengan selamat.
India juga mengklaim telah menewaskan sejumlah besar anggota kelompok militan dalam serangan yang menargetkan markas Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammed di wilayah Pakistan.
Peran Senjata China dalam Konflik
Konflik ini telah menyoroti kemampuan senjata China di medan perang, sebuah kesempatan langka bagi industri pertahanan negara tersebut. Zhou Bo, seorang pensiunan kolonel senior dari Tentara Pembebasan Rakyat China, menyatakan bahwa pertempuran udara tersebut merupakan iklan besar bagi industri senjata China, yang sebelumnya tidak memiliki kesempatan untuk menguji platformnya dalam situasi pertempuran yang sebenarnya.
Saham Avic Chengdu Aircraft, produsen J-10, mengalami lonjakan setelah jet ini memainkan peran penting dalam konflik tersebut. Namun, beberapa analis memperingatkan agar tidak terlalu cepat menyimpulkan keunggulan senjata China.
Profesor Walter Ladwig dari King's College London berpendapat bahwa misi Angkatan Udara India tampaknya bukan untuk memprovokasi pembalasan militer Pakistan. Ia mencatat bahwa dalam doktrin militer standar, pertahanan udara musuh akan ditekan sebelum menyerang target darat.
Di media sosial China, beredar klaim bahwa jet J-10 berhasil menembak jatuh pesawat Rafale, meskipun belum ada konfirmasi resmi mengenai hal ini. Carlotta Rinaudo, seorang peneliti dari Tim Internasional untuk Studi Keamanan di Verona, menyatakan bahwa persepsi lebih penting daripada kenyataan dalam situasi ini, dan China adalah pemenang utama dalam hal ini.
China memiliki hubungan strategis dan ekonomi yang erat dengan Pakistan, dengan investasi besar-besaran dalam proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan. Analis keamanan Pakistan, Imtiaz Gul, menyatakan bahwa China membuat perbedaan penting dalam konflik India-Pakistan, yang mengejutkan para perencana India.
Implikasi untuk Pasar Senjata Global
Jika senjata China terbukti efektif dalam konflik ini, hal itu dapat menggoyahkan peta perdagangan senjata global. Saat ini, Amerika Serikat adalah eksportir senjata terbesar di dunia, diikuti oleh Rusia, Prancis, dan China. Pasar utama China adalah negara-negara berkembang seperti Pakistan dan Myanmar. Namun, reputasi senjata China sempat ternoda oleh masalah teknis yang dialami oleh jet JF-17 di Myanmar dan jet tempur F-7 di Nigeria.
India juga menunjukkan kemampuan militernya dalam konflik tersebut. Angkatan Udara India meluncurkan rudal ke sejumlah pangkalan udara strategis di Pakistan, termasuk Pangkalan Udara Nur Khan di dekat markas militer Pakistan. Profesor Ladwig mencatat bahwa operasi India kali ini lebih sesuai dengan standar militer, dengan menghancurkan sistem pertahanan dan radar terlebih dahulu sebelum menyerang target darat.
Ladwig juga mempertanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan Pakistan untuk membangun kembali fasilitas-fasilitas ini jika konflik ini berlanjut.