Manipulasi Persepsi: Ketika Citra Menggantikan Substansi dalam Arena Politik
Era Politik Citra: Lebih dari Sekadar Pencitraan
Dunia politik kontemporer telah mengalami transformasi signifikan. Kekuasaan tidak lagi semata-mata tentang kendali atas kebijakan dan sumber daya, melainkan menjelma menjadi entitas yang lebih subtil dan kompleks, yaitu citra. Citra ini bukan sekadar representasi visual, melainkan sebuah narasi yang dikonstruksi dengan cermat, sebuah gambaran yang dikurasi untuk menciptakan persepsi tertentu di benak publik.
Dahulu, istilah "pencitraan" digunakan untuk menggambarkan upaya memoles reputasi atau menampilkan diri dalam cahaya yang lebih baik. Namun, saat ini, citra telah melampaui fungsi sebagai alat dan bertransformasi menjadi substansi inti dari politik itu sendiri. Seorang calon pemimpin tidak lagi dituntut untuk menjabarkan gagasan dan program kerjanya secara mendalam. Cukup dengan mengunggah foto diri saat menikmati hidangan sederhana di warung pinggir jalan, ia dapat dengan mudah meraih simpati publik dan dicap sebagai sosok yang "merakyat". Simulasi ini berhasil bukan karena mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan karena menciptakan ilusi kebenaran yang terasa nyata.
Simulakra Politik: Ketika Realitas Tergantikan oleh Representasi
Kita seolah melupakan esensi demokrasi yang seharusnya bertumpu pada pertimbangan rasional dan analisis mendalam, bukan pada visual yang dikendalikan oleh algoritma media sosial. Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis, menyebut kondisi ini sebagai "simulakra", yaitu tanda yang tidak lagi merepresentasikan realitas, melainkan menggantikannya. Dalam konteks politik, simbol dan gestur kini lebih dihargai daripada kinerja dan kebijakan yang nyata. Sebuah foto pemimpin yang sedang mendekap anak-anak di kamp pengungsian dianggap lebih bernilai daripada laporan komprehensif mengenai upaya pembangunan kembali rumah-rumah warga yang terdampak bencana.
Di era ini, representasi telah menjadi realitas baru. Seorang pemimpin dinilai berdasarkan citra yang diproyeksikannya. Ungkapan "Aku berpikir, maka aku ada" (Cogito ergo sum) telah digantikan oleh "Aku tampil dalam video, maka aku ada" (Video ergo sum). Logika desibel mendominasi lanskap politik. Siapa pun yang bersuara paling lantang, paling emosional, dan paling kontroversial akan mendapatkan perhatian dan tempat di ruang publik. Argumentasi yang rasional terpinggirkan oleh provokasi yang sensasional. Konten yang dangkal menggeser konteks yang mendalam. Emosi mengalahkan analisis.
Fenomena ini tercermin dalam budaya talkshow politik yang kini lebih menyerupai arena gladiator. Penonton tidak lagi berusaha memahami isu-isu yang kompleks, melainkan hanya menanti terjadinya ledakan emosi dan konfrontasi verbal. Gagasan-gagasan yang bernas tidak lagi ditimbang secara seksama, melainkan dijadikan umpan untuk memicu perdebatan sengit.
Cass Sunstein, dalam bukunya Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), mengamati bahwa logika algoritma media sosial mendorong orang untuk bersuara bukan demi menyampaikan kebenaran, melainkan demi meraih resonansi. Konten yang paling berpotensi mendapatkan like, share, atau retweet akan mendominasi percakapan publik.
Topeng Kekuasaan: Antara Citra yang Dipoles dan Realitas yang Tersembunyi
Plato, dalam The Republic, membayangkan pemerintahan ideal yang dipandu oleh cinta akan kebenaran. Namun, dalam realitas politik yang kita hadapi, topeng sering kali lebih penting daripada wajah yang sebenarnya. Seorang pemimpin yang tampak ramah dan peduli di layar televisi dapat saja memimpin rezim yang otoriter di balik layar. Ia mungkin menampilkan citra kesederhanaan, tetapi hidup dalam kemewahan yang tersembunyi. Ia mungkin berbicara tentang etika, tetapi membungkam kritik dan perbedaan pendapat.
Ironisnya, topeng ini dapat berfungsi dengan efektif karena publik pun turut serta memakainya. Kita, sebagai pemilih, terkadang lebih memilih untuk melihat pemimpin sebagai simbol harapan daripada sebagai pejabat publik yang harus bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam logika ini, politik bukan lagi tentang mengelola konflik atau merancang kebijakan yang efektif, melainkan tentang koreografi citra yang dipoles dengan cermat: dari senyuman yang tulus, nada suara yang meyakinkan, hingga gestur yang disengaja.
Media sosial telah menciptakan memori publik yang sangat singkat. Skandal yang menggemparkan pagi ini dapat dengan mudah dilupakan pada sore harinya. Masalah besar datang dan pergi dalam hitungan hari, bahkan jam. Hannah Arendt pernah memperingatkan bahwa kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis dan mengingat sejarah adalah jalan menuju totalitarianisme. Hal ini terjadi bukan karena rakyat memiliki niat buruk, melainkan karena mereka telah kehilangan kepedulian dan perhatian terhadap isu-isu yang substantif.
Kita cenderung mudah marah dan tersulut emosi, tetapi juga mudah melupakan. Kita mungkin merasa kecewa dengan kinerja seorang pemimpin, tetapi tetap memilihnya kembali karena "ia terlihat baik" atau "ia memiliki citra yang positif". Memori publik telah dijinakkan oleh riuhnya isu-isu permukaan. Dalam strategi komunikasi kekuasaan, hal ini bukanlah sebuah kelalaian, melainkan sebuah desain yang disengaja. Masyarakat yang pelupa adalah masyarakat yang mudah dikendalikan.
Esensi yang Dilupakan: Ketika Tampilan Menggantikan Substansi
Lantas, apa yang dilupakan ketika segala sesuatu menjadi sekadar tampilan? Jawabannya adalah esensi. Esensi adalah kerja senyap birokrasi yang jujur dan efisien. Ia tidak muncul di layar televisi, tidak menjadi viral di media sosial, dan tidak diliput oleh media massa. Esensi terwujud dalam pengadaan barang dan jasa yang transparan dan akuntabel, dalam pembiayaan publik yang adil dan merata, serta dalam sistem hukum yang tidak dapat disuap. Namun, semua itu terlalu teknokratis dan kompleks untuk dijual sebagai konten yang menarik. Akibatnya, esensi sering kali diabaikan dan ditinggalkan.
Shoshana Zuboff, dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019), menulis bahwa kekuasaan modern mengandalkan eksploitasi prediktif terhadap perilaku publik. Dalam konteks ini, politik esensi justru dapat menjadi ancaman bagi kekuasaan yang ingin mempertahankan stabilitasnya, karena ia mengandung potensi kontrol dari rakyat, bukan hanya ilusi partisipasi.
Oleh karena itu, kita harus mengajukan pertanyaan mendasar: Mengapa kita ikut merayakan simulasi ini? Mungkin karena realitas politik sering kali terlalu menyakitkan untuk dihadapi. Kita lelah dengan skandal korupsi, kejahatan anggaran, dan janji-janji kosong yang tidak pernah ditepati. Maka, kita menerima apa yang tampak di permukaan, karena apa yang tampak tidak menyakiti. Kita tahu bahwa itu tidak nyata, tetapi kita menikmatinya sebagai hiburan semata.
Politik telah bertransformasi menjadi infotainment. Rakyat bukan lagi warga negara yang aktif dan berpartisipasi, melainkan penonton pasif yang hanya mengonsumsi informasi tanpa berpikir kritis.
Menuju Politik yang Lebih Substantif: Membangun Budaya Nalar
Namun, harapan itu belum sepenuhnya pupus. Masih ada ruang untuk mewujudkan politik yang lebih jujur dan substantif. Politik seperti itu tidak akan datang dari panggung kekuasaan. Ia harus lahir dari ruang-ruang kecil: diskusi mahasiswa, komunitas warga, media independen, dan pemilih yang tidak lagi puas dengan teater kekuasaan.
Politik citra hanya dapat diimbangi dengan budaya politik nalar. Kita membutuhkan pemilih yang membaca program kerja calon pemimpin, bukan hanya melihat baliho dan iklan kampanye. Kita membutuhkan media yang berani menantang narasi kekuasaan, bukan yang menjilat dan mempropagandakannya. Dan kita membutuhkan pemimpin yang berani mengakui bahwa ia tidak tahu, bukan yang selalu tampil seolah-olah tahu segalanya.
Esensi mungkin kalah untuk sementara waktu. Namun, ia dapat menang kembali jika kita memulainya dari keberanian untuk bertanya ulang: "Untuk siapa kekuasaan ini ada?"