Proyek Reklamasi di Marunda Dikeluhkan Nelayan: Hilangnya Wilayah Tangkap dan Ancaman Kemerosotan Ekonomi
Proyek Reklamasi di Marunda Mengancam Mata Pencaharian Nelayan
Para nelayan di kawasan Marunda, Jakarta Utara, menyampaikan keluhan mendalam terkait munculnya struktur beton di perairan yang mereka gunakan untuk mencari nafkah. Struktur ini diduga kuat merupakan fondasi bagi proyek reklamasi yang semakin marak di wilayah tersebut. Ketua Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI), Muhammad Tahir, menegaskan bahwa pembangunan ini, yang mulai terlihat sejak 2023, dilakukan oleh perusahaan swasta dan mengancam keberlangsungan hidup para nelayan tradisional.
Menurut Tahir, saat ini ada tiga lokasi reklamasi yang sedang berjalan di utara Marunda, yang rencananya akan dijadikan pelabuhan. Satu lahan reklamasi sudah dalam tahap pembangunan fondasi dengan pagar beton yang menjorok sekitar tiga kilometer ke laut. Lahan kedua masih dalam proses pengerukan, sementara lahan ketiga sudah beroperasi sebagai pelabuhan penampungan batu bara curah.
Dampak Reklamasi: Hilangnya Area Tangkap dan Peningkatan Biaya Melaut
Proyek reklamasi ini berdampak langsung pada kemampuan nelayan untuk mencari ikan. Lokasi reklamasi berada tepat di area tangkap tradisional mereka, tanpa adanya solusi alternatif yang ditawarkan. Akibatnya, nelayan harus melaut lebih jauh, yang secara signifikan meningkatkan biaya operasional mereka.
"Wilayah yang dipakai itu, wilayah area tangkap nelayan, mereka tidak memberikan solusi kita sebagai nelayan tradisional, kita harus melaut seperti apa," ujar Tahir. Peningkatan biaya melaut ini, dikombinasikan dengan penurunan hasil tangkapan, telah menyebabkan kerugian besar bagi para nelayan.
Kerugian Ekonomi dan Harapan akan Tindakan Pemerintah
Sebelum adanya proyek reklamasi, nelayan masih bisa mendapatkan sisa pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, sekarang, banyak dari mereka bahkan tidak mampu menutupi biaya bahan bakar setelah melaut. Tahir mencontohkan, dengan modal Rp 200.000-Rp 300.000 untuk sekali melaut, nelayan dulu bisa meraih keuntungan hingga Rp 1 juta. Kini, hasil tangkapan seringkali hanya cukup untuk menutupi sebagian kecil dari biaya yang dikeluarkan.
Para nelayan berharap agar pemerintah segera menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Mereka khawatir, jika reklamasi terus berlanjut tanpa kendali, mata pencaharian mereka akan hilang. Tahir mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk meninjau langsung kondisi di Teluk Jakarta dan fokus pada pelestarian wilayah tersebut.
Ancaman Aksi Demonstrasi
Jika tidak ada tanggapan dari pemerintah, para nelayan berencana untuk menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Diperkirakan sekitar 25 ribu nelayan siap turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Tahir menjelaskan bahwa kewenangan terkait reklamasi saat ini berada di tangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta.
Sebelum melakukan aksi demonstrasi, para nelayan akan terlebih dahulu menyampaikan protes secara resmi melalui surat. Namun, jika surat tersebut tidak diindahkan, mereka akan mengorganisir seluruh nelayan di Teluk Jakarta untuk melakukan perlawanan.
Pernyataan Sikap Nelayan
Para nelayan menyatakan bahwa mereka akan menerima pembangunan reklamasi jika tujuannya adalah untuk kepentingan masyarakat luas. Namun, mereka menolak keras jika reklamasi hanya menguntungkan perusahaan atau individu tertentu. Mereka meminta pemerintah pusat untuk memperhatikan kondisi masyarakat kecil yang terdzolimi akibat proyek reklamasi ini.
- Hilangnya area tangkap ikan.
- Peningkatan biaya operasional melaut.
- Penurunan pendapatan nelayan.
- Ancaman hilangnya mata pencaharian.
- Desakan kepada pemerintah untuk menghentikan reklamasi.
- Rencana aksi demonstrasi jika tuntutan tidak dipenuhi.