Evolusi Gandrung: Dari Ritual Agraris hingga Ikon Budaya Banyuwangi
Tari Gandrung, sebuah seni pertunjukan yang memikat, bukan sekadar tarian bagi masyarakat Banyuwangi. Lebih dari sekadar hiburan, Gandrung adalah cerminan sejarah panjang, simbol perjuangan, dan representasi identitas budaya yang kuat. Jejaknya berakar dalam tradisi agraris dan kepercayaan masyarakat Osing, etnis asli Banyuwangi.
Akar Religius dan Transformasi Gender
Pada mulanya, Gandrung tumbuh dari ritual pemujaan Dewi Sri, dewi kesuburan yang dihormati dalam masyarakat agraris. Tarian Seblang, pendahulu Gandrung, menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara syukur atas panen melimpah. Kata 'gandrung' sendiri, menurut budayawan Slamet Dihardjo, mengandung makna 'terpesona' atau 'jatuh cinta', yang menggambarkan luapan rasa cinta masyarakat terhadap anugerah alam.
Uniknya, pada era pasca-Perang Bayu, Gandrung justru ditarikan oleh laki-laki yang berdandan layaknya perempuan. Gandrung Lanang, sebutan untuk penari pria ini, bukan hanya sekadar pertunjukan seni, tetapi juga menjadi medium perjuangan melawan penjajah Belanda. Syair-syair yang dilantunkan dalam setiap pentas Gandrung Lanang sarat dengan pesan-pesan perlawanan. Sosok Marsan, sang legenda Gandrung Lanang, menjadi simbol perlawanan hingga akhir hayatnya di awal abad ke-20.
Perubahan signifikan terjadi di akhir abad ke-19. Peran penari Gandrung beralih ke perempuan, sebuah transformasi yang konon bertujuan untuk mengembalikan esensi asli tarian tersebut. Semi, seorang gadis kecil yang bernazar menjadi penari Gandrung jika sembuh dari sakit, menjadi penari perempuan pertama. Selain perubahan gender penari, terjadi pula evolusi dalam instrumen musik pengiring. Gamelan Osing, perpaduan harmonis antara tradisi Jawa dan Bali, melengkapi kendang dan rebana, menghadirkan dimensi musikal yang lebih kaya.
Revitalisasi dan Pengukuhan sebagai Ikon
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengambil langkah strategis untuk merevitalisasi kesenian daerah, termasuk Gandrung, sejak tahun 1970-an. Bupati Djoko Supaat Slamet memberikan ruang bagi para seniman untuk mengembangkan variasi gerak dan komposisi musik. Kreasi Jejer Gandrung oleh Sumitro Hadi pada tahun 1978 menjadi salah satu tonggak penting dalam pengembangan Gandrung.
Di era Bupati Samsul Hadi, Gandrung semakin dikukuhkan sebagai identitas budaya Banyuwangi. Melalui SK Bupati No.173 tahun 2002, Gandrung resmi ditetapkan sebagai maskot pariwisata. Pelatihan tari Gandrung digencarkan di sekolah-sekolah, dan Jejer Gandrung menjadi tarian penyambutan resmi di berbagai acara daerah. Pembangunan patung-patung penari Gandrung di berbagai sudut kota, termasuk di pintu masuk utara Banyuwangi, semakin mempertegas simbolisasi Gandrung sebagai identitas budaya.
Festival Gandrung Sewu: Puncak Perayaan Budaya
Sejak tahun 2012, Banyuwangi memiliki agenda tahunan yang dinanti-nantikan, yaitu Festival Gandrung Sewu. Acara ini menghadirkan pertunjukan kolosal yang melibatkan ribuan penari Gandrung, sebuah perayaan budaya yang memukau dan menjadi daya tarik wisata yang signifikan.
Berikut adalah format markdown untuk list, apabila diperlukan:
- Poin 1
- Poin 2
- Poin 3