Rencana Anggaran Sekolah Rakyat Mencapai Rp 2,3 Triliun, DPR Pertanyakan Persetujuan
Menteri Sosial Saifullah Yusuf, yang dikenal dengan nama Gus Ipul, mengungkapkan perkiraan anggaran untuk pembangunan Sekolah Rakyat di 100 lokasi. Proyek yang direncanakan untuk tahun 2025-2026 ini diperkirakan akan menelan biaya sekitar Rp 2,3 triliun. Pengungkapan ini disampaikan dalam rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, memicu perdebatan mengenai persetujuan anggaran dan skala program.
Gus Ipul menjelaskan bahwa 100 lokasi Sekolah Rakyat tersebut akan menampung 340 rombongan belajar. Dengan asumsi setiap rombongan belajar terdiri dari 25 siswa, totalnya akan ada 8.850 siswa yang terlibat dalam program ini. "Anggaran kebutuhan operasional sekolah rakyat jika mengasumsikan ini di 100 lokasi untuk tahun ajaran 2025-2026, totalnya adalah Rp 2,3 triliun," ujarnya. Ia menambahkan bahwa angka ini masih berupa asumsi dan jumlah siswa yang terlibat bisa lebih dari 10.000.
Rincian anggaran yang diajukan meliputi Rp 487,14 miliar untuk sarana dan prasarana di 100 lokasi Sekolah Rakyat. Dana ini akan digunakan untuk membangun dan melengkapi fasilitas seperti laboratorium, ruang komputer, fasilitas kesenian, perpustakaan, asrama, dapur, ruang kelas, dan fasilitas pendukung lainnya. Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan Rp 3,66 miliar untuk penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan Sekolah Rakyat. Untuk kebutuhan guru dan tenaga pendidik, anggaran yang dibutuhkan diperkirakan mencapai Rp 1,11 triliun.
Pihak Kementerian Sosial menargetkan penyelesaian sarana dan prasarana pada akhir Juni atau awal Juli tahun ini. "Kesiapan sarpras, diharapkan nanti akhir Juni atau awal Juli sudah tuntas. Kemudian kurikulum juga sekarang sedang berproses terus. Kesiapan guru juga sudah kita lakukan rapat berulang-ulang dengan Dikdasmen, dengan PANRB, dengan BKN, dan juga unsur-unsur yang lain," jelas Gus Ipul.
Namun, rencana anggaran yang besar ini mendapat sorotan dari anggota Komisi VIII DPR I Ketut Kariyasa Adnyana. Ia menekankan bahwa hingga saat ini belum ada persetujuan anggaran dari DPR terkait program Sekolah Rakyat. "Kami sangat setuju dengan program Sekolah Rakyat ini, tapi sampai saat ini belum ada persetujuan anggaran dari DPR," tegasnya.
Kariyasa Adnyana mengingatkan bahwa program Sekolah Rakyat melibatkan sejumlah kementerian, sehingga pelaksanaan program tanpa persetujuan anggaran dari DPR akan menyalahi aturan. "Kalau program sudah jalan tanpa persetujuan DPR, tentu ini tidak sesuai dengan tata cara penganggaran," ujarnya.
Selain masalah persetujuan anggaran, Kariyasa Adnyana juga mengkritisi cakupan program Sekolah Rakyat yang dinilai terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), ia menyebutkan bahwa sekitar 9 persen atau 28 juta orang di Indonesia tergolong miskin. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya perencanaan dan implementasi Sekolah Rakyat yang hati-hati dan menyeluruh. "Kita tidak bisa hanya terus menerus mengatasi kemiskinan dengan bansos. Pendidikan kami yakin harus ada koordinasi swasta dan daerah agar program terlaksana dengan baik," pungkasnya.
Secara keseluruhan, program Sekolah Rakyat yang digagas oleh Kementerian Sosial ini bertujuan untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu. Namun, dengan anggaran yang besar dan belum adanya persetujuan dari DPR, program ini masih menghadapi sejumlah tantangan. Perencanaan yang matang, koordinasi antar kementerian, dan persetujuan anggaran dari DPR menjadi kunci keberhasilan program ini dalam mengatasi masalah kemiskinan melalui pendidikan.