Desakan Buruh: Realisasi Janji Prabowo Menghapus Sistem Outsourcing
Gelombang Desakan Buruh: Menanti Realisasi Janji Prabowo Hapus Outsourcing
Jakarta – Janji kampanye Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menghapuskan sistem outsourcing atau alih daya, kini menjadi sorotan utama dari kalangan buruh di seluruh Indonesia. Mereka menantikan realisasi konkret dari komitmen yang diucapkan pada momentum Hari Buruh, 1 Mei 2025 lalu.
Sistem outsourcing, yang pertama kali dilegalkan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sejak awal menuai kontroversi. Meskipun UU Ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan penyedia tenaga kerja alih daya untuk memenuhi hak-hak pekerja dan membatasi praktik outsourcing hanya pada pekerjaan penunjang, implementasinya seringkali menimbulkan masalah.
Keresahan utama terletak pada ketidakjelasan status dan kesejahteraan pekerja outsourcing. Mereka kerap kali tidak mendapatkan tunjangan yang memadai dan menghadapi ketidakpastian jam kerja, yang sangat bergantung pada kesepakatan kontrak. Kondisi ini membuat para buruh merasa rentan dan tidak terlindungi.
Janji Prabowo dan Pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional
Dalam pidatonya saat peringatan Hari Buruh, Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menghapus sistem outsourcing. Langkah ini, menurutnya, akan diwujudkan melalui pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional. Dewan ini akan bertindak sebagai penasihat presiden dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan, termasuk hak dan perlindungan pekerja.
Salah satu tugas utama Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional adalah mengkaji dan menyusun mekanisme transisi yang tepat menuju penghapusan outsourcing. Prabowo menekankan bahwa proses ini harus dilakukan secara bertahap dan mempertimbangkan iklim investasi. Ia meyakini bahwa keseimbangan antara perlindungan buruh dan keberlangsungan investasi sangat penting.
"Kita ingin hapus outsourcing. Tapi kita juga harus realistis. Kita harus menjaga kepentingan para investor juga. Kalau tidak ada investasi, tidak ada pabrik, maka buruh juga tidak bisa bekerja," ujar Prabowo saat itu.
Tuntutan Buruh dan Penolakan Outsourcing Berkedok Magang
Presiden Partai Buruh sekaligus Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menyatakan keyakinannya terhadap janji Prabowo. Dalam deklarasi Koalisi Serikat Pekerja–Partai Buruh (KSP-PB) di Jakarta, ia secara tegas menagih janji tersebut.
KSP-PB, yang mengklaim memiliki empat juta anggota dari berbagai sektor, termasuk petani, nelayan, pelaut, dan tenaga medis, dengan suara bulat mendukung penghapusan outsourcing.
"Meminta kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto agar outsourcing tenaga kerja itu dihapus," tegas Said Iqbal.
Selain itu, kalangan buruh juga menolak praktik outsourcing yang disamarkan sebagai program magang atau kemitraan. Mereka berpendapat bahwa praktik semacam itu hanya merugikan pekerja dan tidak memberikan kepastian kerja.
Pandangan DPR dan Perlunya Pembenahan Regulasi
Di sisi lain, Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago, memiliki pandangan yang berbeda. Ia mengusulkan agar pemerintah fokus pada pembenahan sistem outsourcing, bukan menghapusnya secara total.
Irma berpendapat bahwa perlindungan dan keamanan hak pekerja outsourcing harus menjadi prioritas utama. Ia mencontohkan banyak negara lain yang berhasil menerapkan sistem outsourcing dengan regulasi yang jelas dan tidak merugikan pekerja.
Irma juga menekankan pentingnya membatasi praktik outsourcing hanya pada pekerjaan non-inti perusahaan. Ia mengkritik UU Cipta Kerja yang dinilai memperbolehkan outsourcing pada pekerjaan inti, dan mendesak agar UU tersebut direvisi untuk mengakomodasi usulan ini.
Dengan demikian, isu outsourcing tetap menjadi perdebatan yang kompleks, melibatkan berbagai kepentingan dan pandangan. Realisasi janji Prabowo untuk menghapus sistem ini akan sangat bergantung pada keseimbangan antara tuntutan buruh, kebutuhan investasi, dan regulasi yang adil serta melindungi hak-hak pekerja.