Fenomena 'Nenengisme': Kritik atas Komunikasi Iklim yang Elitis dan Jargonistik

Gelombang 'Nenengisme': Menggugat Cara Komunikasi Iklim Konvensional

Unggahan seorang ibu rumah tangga bernama Neneng Rosdiyana di media sosial telah memicu fenomena menarik yang disebut 'Nenengisme'. Bukan seorang ilmuwan ataupun pakar lingkungan, Neneng mampu menyampaikan pesan-pesan lingkungan dengan bahasa yang sederhana, menyentuh, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat akar rumput. Hal ini menjadi kritik pedas bagi komunikasi iklim yang selama ini cenderung elitis dan menggunakan jargon-jargon yang sulit dipahami.

Neneng Rosdiyana: Simbol Perlawanan dari Akar Rumput

Neneng, seorang anggota Komunitas Wanita Tani (KWT) Mentari di Lampung, mulai dikenal luas setelah akun Facebook 'Marxisme Indonesia' secara iseng diubah namanya menjadi 'Neneng Rosdiyana'. Di tengah ramainya perbincangan tentang isu Marxisme, kehadiran Neneng justru mencuri perhatian karena gaya komunikasinya yang unik. Ia tak menggunakan teori-teori rumit, melainkan berbagi pengalaman bertani, panen, dan pemberdayaan ekonomi ibu-ibu di sekitarnya dengan bahasa yang mudah dicerna. Pesan-pesannya yang tajam, menggelitik, bahkan terkadang 'menampar', berhasil menarik perhatian ribuan warganet.

'Nenengisme': Lebih dari Sekadar Unggahan Viral

Fenomena 'Nenengisme' bukan sekadar tentang unggahan viral di media sosial. Ini adalah tentang kegagalan komunikasi selama ini dalam menjangkau masyarakat akar rumput. Kampanye-kampanye lingkungan seringkali menggunakan istilah-istilah seperti 'net-zero' atau 'carbon offsetting' yang asing bagi mereka yang justru paling merasakan dampak krisis iklim. Padahal, petani dan masyarakat adat memiliki kearifan lokal dan pengetahuan mendalam tentang alam yang seharusnya menjadi sumber pembelajaran.

Belajar dari Kearifan Lokal

Komunikasi iklim seharusnya bukan hanya tentang menyampaikan informasi dari 'pihak yang lebih tahu', melainkan tentang membangun dialog dan partisipasi. Kita perlu memahami pandangan dunia, konteks sosial, psikologis, dan ekonomi masyarakat yang kita ajak bicara. Petani mungkin tidak mengenal istilah 'resiliensi komunitas', tapi mereka tahu kapan harus pindah lahan ketika tanah sudah tidak lagi subur. Mereka mungkin tidak paham 'strategi adaptasi iklim', tapi mereka punya cara sendiri untuk bangkit setelah gagal panen.

Humor dan Satire sebagai Senjata Komunikasi

Gaya komunikasi Neneng yang terkadang menggunakan humor dan satire juga menjadi daya tarik tersendiri. Di tengah diskusi perubahan iklim yang seringkali bernuansa muram, humor bisa menjadi cara ampuh menyampaikan pesan yang tetap lugas tanpa terkesan menggurui. Kritik terhadap praktik monokultur ala food estate yang disampaikan dengan bahasa yang sederhana namun menusuk adalah contohnya.

Mengatasi Ketidakadilan Struktural

Komunikasi lingkungan yang efektif harus mengangkat masalah ketidakadilan struktural. Masyarakat akar rumput bukan tidak memahami persoalan krisis iklim, tapi mereka seringkali tersandera dalam sistem yang membatasi pilihan. Mereka tahu bahwa tanggung jawab menjaga lingkungan seharusnya dipikul lebih besar oleh industri dan pembuat kebijakan, namun kekuasaan seringkali tidak berpihak pada mereka.

Menjadikan Masyarakat Akar Rumput sebagai Subjek

Masyarakat akar rumput harus ditempatkan sebagai subjek aktif dalam mengatasi krisis lingkungan, bukan sekadar objek kampanye. Mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berharga. Komunikasi lingkungan yang membumi adalah komunikasi yang peka terhadap realitas sosial, memberikan ruang partisipasi, dan membuka jalan bagi solusi yang mempertimbangkan realitas kehidupan masyarakat. Neneng Rosdiyana telah memberikan contoh bagaimana melakukan komunikasi seperti itu.