UU Tapera Digugat ke MK: Bayang-Bayang Korupsi Asabri dan Taspen Hantui Kepercayaan Publik
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyelenggarakan sidang terkait gugatan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sidang yang digelar pada Rabu (21/5/2025) menghadirkan ahli, Surya Tjandra, mantan Wakil Menteri Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), yang menyampaikan pandangannya mengenai potensi masalah kepercayaan publik terhadap program Tapera.
Surya Tjandra menyoroti keraguan masyarakat terhadap pengelolaan dana Tapera, khususnya dengan adanya pengalaman buruk kasus korupsi yang menimpa lembaga keuangan publik lainnya, seperti Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) dan Tabungan Pensiunan Negara (Taspen). Keraguan ini muncul karena masyarakat mempertanyakan jaminan bahwa Tapera tidak akan mengalami nasib serupa, menjadi lahan korupsi bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam sidang tersebut, Surya Tjandra menegaskan bahwa persoalan utama dalam gugatan ini adalah terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap UU Tapera. Dia menyoroti fakta bahwa dana pensiun yang dikumpulkan oleh abdi negara selama puluhan tahun di Asabri dan Taspen justru menjadi objek korupsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai jaminan keamanan dana masyarakat yang dikelola oleh Tapera.
Selain masalah kepercayaan, Surya Tjandra juga menyoroti beban iuran yang harus ditanggung oleh para pekerja. Program Tapera mewajibkan pekerja untuk menyetor iuran sebesar 2,5 persen dari gaji bulanan mereka. Di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil dan daya beli masyarakat yang menurun, iuran ini dinilai memberatkan. Beban ini menjadi semakin terasa bagi pekerja dengan upah rendah, yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Lebih lanjut, Surya Tjandra juga menyinggung masalah backlog perumahan yang menjadi salah satu dasar pertimbangan pembentukan UU Tapera. Menurutnya, masalah ini tidak akan selesai dalam waktu dekat karena beberapa faktor.
- Perubahan gaya hidup anak muda yang cenderung memilih hunian non-permanen.
- Kenaikan harga properti yang semakin tidak terjangkau.
Gugatan terhadap UU Tapera ini diajukan oleh 11 serikat pekerja yang merasa keberatan dengan kewajiban iuran sebesar 2,5 persen dari gaji. Mereka meminta MK untuk menghapus kata "wajib" dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Tapera dan mengubahnya menjadi "dapat", sehingga keikutsertaan dalam program Tapera menjadi bersifat sukarela. Selain itu, mereka juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 9 Ayat (1) UU Tapera bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pekerja yang secara sukarela memilih menjadi peserta Tapera wajib didaftarkan oleh pemberi kerja. Putusan MK atas gugatan ini akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan program Tapera dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengelola dana publik.