Upaya Perdamaian Thailand Selatan: Eskalasi Konflik dan Peran Pihak Eksternal

Thailand Selatan, khususnya provinsi Narathiwat, Pattani, dan Yala, telah lama menjadi arena konflik antara kelompok separatis dan pemerintah pusat. Konflik yang telah berlangsung sejak Januari 2004 ini, didorong oleh tuntutan otonomi yang lebih besar dari kelompok separatis di wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim Melayu. Lebih dari 7.000 jiwa telah menjadi korban akibat lebih dari 23.000 insiden kekerasan, menurut data dari Deep South Watch.

Barisan Revolusi Nasional (BRN), sebuah kelompok separatis utama, dituduh bertanggung jawab atas serangkaian serangan yang menargetkan warga sipil, termasuk tokoh agama Buddha dan guru sekolah. Eskalasi konflik baru-baru ini ditandai dengan peningkatan insiden kekerasan yang signifikan, dengan 38 insiden tercatat antara Januari hingga awal Mei, hampir menyamai total insiden sepanjang tahun sebelumnya.

Beberapa peristiwa penting telah memperburuk situasi. Kegagalan mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Dewan Keamanan Nasional Thailand dan BRN selama bulan Ramadan pada Maret 2025 memicu serangan BRN di Kantor Distrik Sungai Kolok di Narathiwat. Serangan ini menyebabkan korban luka-luka dan kematian. Pembunuhan anggota senior BRN, Abdulroning Lateh, pada bulan April memicu peningkatan serangan yang lebih luas, termasuk serangan yang menargetkan warga sipil, seperti penembakan yang menewaskan tiga orang di Narathiwat, termasuk seorang anak kecil dan warga lanjut usia.

Pemerintah Thailand, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra, telah merespons peningkatan kekerasan dengan mengirimkan lebih banyak pasukan ke wilayah tersebut dan menyatakan kesiapan untuk membuka kembali dialog damai. Namun, beberapa analis menilai langkah-langkah ini lebih bersifat simbolis daripada solusi konkret. Mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, yang terlibat saat konflik ini kembali memanas pada tahun 2004, juga turut serta dalam upaya mencari solusi, dengan harapan konflik dapat diakhiri pada tahun depan.

Malaysia, yang memiliki perbatasan langsung dan hubungan budaya serta agama dengan penduduk Melayu Patani, juga memainkan peran penting dalam upaya perdamaian. Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim didorong untuk lebih aktif dalam proses perdamaian, dan Malaysia memfasilitasi dialog antara pemerintah Thailand dan BRN. Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa Malaysia dapat berbuat lebih banyak untuk menekan BRN dan bahwa Thailand seharusnya lebih memperhatikan usulan dari BRN daripada terlalu mengandalkan Malaysia sebagai penengah.

Usulan dari BRN mencakup pembentukan tim negosiasi, pembebasan tahanan politik, dan kehadiran pengamat internasional untuk mengawasi gencatan senjata. Kelompok tersebut menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi di bawah Konstitusi Thailand, menunjukkan keinginan untuk menjadi bagian dari negara Thailand dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Berikut adalah poin-poin penting yang menjadi fokus dalam upaya mencapai perdamaian di Thailand Selatan:

  • Eskalasi Kekerasan: Peningkatan signifikan dalam insiden kekerasan, termasuk serangan terhadap warga sipil, menunjukkan tantangan yang dihadapi dalam upaya mencapai perdamaian.
  • Peran BRN: Kelompok separatis ini terus menjadi pemain kunci dalam konflik, dan keterlibatan mereka dalam negosiasi dianggap penting untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.
  • Upaya Pemerintah Thailand: Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk merespons kekerasan dan membuka kembali dialog damai, tetapi efektivitas langkah-langkah ini masih dipertanyakan.
  • Peran Malaysia: Malaysia memainkan peran penting sebagai fasilitator dalam dialog perdamaian, tetapi ada seruan agar Malaysia lebih aktif dalam menekan BRN.
  • Usulan BRN: Usulan dari BRN mencerminkan keinginan untuk menjadi bagian dari negara Thailand dengan syarat dan ketentuan tertentu, dan usulan ini perlu dipertimbangkan dengan serius oleh pemerintah Thailand.