Psikiater Ungkap Efektivitas Pendidikan Militer bagi Pelajar Bermasalah: Perlu Pendekatan Holistik
Gagasan program pendidikan karakter di lingkungan militer bagi pelajar yang bermasalah, yang digagas oleh salah satu pemerintah daerah di Indonesia, menuai berbagai tanggapan. Inisiatif yang bertujuan untuk menanamkan kedisiplinan dan semangat nasionalisme ini, telah berjalan sejak awal Mei 2025. Program ini menyasar siswa-siswa yang terlibat dalam kenakalan remaja seperti tawuran, bolos, dan penyalahgunaan alkohol.
Walaupun mendapatkan dukungan dari sebagian masyarakat, program ini juga memicu kritik. Salah satunya datang dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menyatakan potensi pelanggaran hak anak. Menanggapi hal ini, seorang Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa, dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp.KJ, memberikan pandangannya terkait efektivitas program tersebut.
Menurut dr. Zulvia, atau akrab disapa Vivi, pendidikan dengan pendekatan militer dapat membantu menanamkan kedisiplinan dan struktur yang jelas. Namun, ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam implementasinya. "Pendekatan militer bisa membantu menanamkan kedisiplinan dan struktur, tapi harus hati-hati dalam penerapannya," ujarnya.
Lebih lanjut, Vivi menjelaskan bahwa program yang berfokus pada kedisiplinan tanpa diimbangi dengan pendekatan emosional yang tepat, justru dapat memperburuk kondisi psikologis remaja. Alih-alih memberikan efek positif, tekanan yang berlebihan dapat memicu masalah baru atau memperdalam masalah yang sudah ada. "Kalau terlalu keras atau tanpa pendekatan emosional yang tepat, malah bisa memperburuk kondisi psikologis remaja," ungkapnya.
Vivi menyarankan kombinasi antara pelatihan yang tegas dengan pendekatan emosional dan komunikasi yang baik sebagai cara yang lebih efektif dalam mendisiplinkan pelajar yang bermasalah. Menurutnya, penting untuk membangun rasa tanggung jawab, menjalin komunikasi yang baik, dan memberikan keterlibatan emosional. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada menekan perilaku negatif, tetapi juga membentuk kesadaran diri serta kemampuan mengenali dan mengelola emosi dengan baik.
"Remaja perlu didengarkan dan dipahami terlebih dulu, apakah ada trauma, tekanan emosional, atau gangguan perilaku yang mendasari," terang Vivi. Ia menambahkan bahwa dari sudut pandang psikologi, remaja yang menunjukkan perilaku menyimpang membutuhkan terapi psikologi, konseling, pendampingan dari keluarga, serta keterlibatan pihak sekolah.
Selain itu, Vivi juga menekankan pentingnya peran figur positif di sekitar remaja, seperti guru, teman, tokoh masyarakat, atau bahkan content creator di media sosial. Kehadiran sosok yang dapat memberikan contoh dan inspirasi positif dapat membantu remaja menemukan arah yang lebih baik. Pendekatan yang komprehensif, yang melibatkan berbagai pihak, dinilai lebih efektif daripada hanya mengandalkan satu metode.
Menurutnya, sinergi antara keluarga, sekolah, komunitas, dan tenaga profesional sangat diperlukan. Vivi meyakini bahwa setiap remaja memiliki potensi untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Mereka hanya membutuhkan bimbingan yang tepat dan bijaksana.
Vivi juga menegaskan bahwa perilaku menyimpang pada remaja tidak selalu mencerminkan karakter mereka yang sesungguhnya. Masa remaja adalah fase pencarian jati diri, di mana individu masih sangat mungkin untuk diarahkan. Perkembangan otak remaja, terutama bagian korteks prefrontal yang mengatur kontrol diri dan penilaian, belum optimal hingga usia 20-an atau bahkan 25 tahun. Oleh karena itu, perilaku menyimpang pada usia ini belum tentu menjadi karakter yang menetap. Dengan pendekatan yang tepat, remaja dapat kembali ke jalur yang lebih sehat. Vivi mencontohkan banyak remaja yang dulunya bermasalah justru menjadi tokoh inspiratif setelah mengalami titik balik dalam hidup mereka.