Industri Rokok Nasional Ajukan Sejumlah Harapan kepada Dirjen Bea Cukai yang Baru
Pergantian tampuk kepemimpinan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Askolani kepada Letjen Djaka Budi Utama disambut dengan harapan baru dari kalangan industri hasil tembakau (IHT). Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyampaikan aspirasi dan tantangan yang dihadapi industri saat ini, dengan harapan dapat terjalin sinergi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha.
Ketua Umum Gappri, Henry Najoan, menekankan pentingnya keberlangsungan IHT legal nasional, mengingat kontribusinya yang signifikan terhadap penerimaan negara. Sektor ini menyumbang sekitar 10 persen dari total penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, IHT juga berperan penting dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusi lainnya melalui pajak.
Berikut adalah poin-poin utama yang menjadi perhatian Gappri:
- Regulasi yang Terlalu Ketat: Industri rokok kretek saat ini dibebani oleh sekitar 500 peraturan, baik fiskal maupun non-fiskal. Gappri menilai bahwa regulasi yang terlalu ketat ini berdampak negatif karena tidak terintegrasi dengan baik dan cenderung mengakomodasi kepentingan pesaing bisnis global melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)-WHO. Akibatnya, penerimaan CHT tidak mencapai target yang diharapkan, dan produksi rokok legal terus menurun.
- Deregulasi yang Mendesak: Gappri mendorong pemerintah untuk melakukan deregulasi dengan meninjau ulang dan menyelaraskan peraturan yang ada. Tujuannya adalah menciptakan rasa keadilan dan mendukung kemandirian ekonomi nasional. Gappri berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang memberatkan IHT kretek, sehingga industri ini dapat bertahan dan pulih dari tekanan bisnis serta persaingan dengan rokok murah yang tidak jelas asal-usulnya.
- Evaluasi PP Nomor 28 Tahun 2024: Gappri menyoroti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan, khususnya terkait pengamanan zat adiktif. Aturan pembatasan nikotin dan tar dinilai akan menyulitkan anggota Gappri dalam menyesuaikan produk mereka. Selain itu, petani tembakau juga akan kesulitan memenuhi ketentuan karena rata-rata tembakau lokal memiliki kadar nikotin yang tinggi. Pengaturan bahan tambahan juga dikhawatirkan akan menghilangkan ciri khas produk kretek. Gappri meminta pemerintah untuk meninjau ulang aturan ini.
- Relaksasi Pembayaran Pita Cukai: Gappri mengusulkan relaksasi pembayaran pemesanan pita cukai dari 60 hari menjadi 90 hari. Hal ini diharapkan dapat memberikan daya tahan ekonomi bagi pabrikan rokok dalam menghadapi berbagai tekanan.
- Moratorium Kenaikan Cukai dan HJE: Gappri mendorong moratorium kenaikan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) selama periode 2026-2029. Tujuannya adalah memberikan kesempatan bagi IHT untuk pulih, terutama dari tekanan rokok murah ilegal. Gappri berpendapat bahwa pungutan negara terhadap IHT kretek saat ini sudah mencapai 70-82 persen pada setiap batang rokok legal.
- Kebijakan Cukai yang Inklusif dan Berkeadilan: Gappri mengusulkan kebijakan tarif cukai yang mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja IHT, pertanian tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan penerimaan negara. Kebijakan ini sebaiknya dituangkan dalam Peta Jalan (Roadmap) Industri Hasil Tembakau 2026-2029.
- Pemberantasan Rokok Ilegal: Gappri mendukung operasi gempur rokok ilegal dan mendesak penindakan tegas terhadap produsen ilegal.
Gappri berharap dapat beraudiensi dengan Dirjen Bea Cukai yang baru untuk mencari solusi dalam mengamankan pendapatan negara dari sektor CHT, menjaga lapangan kerja, menciptakan efek ganda dan nilai tambah, serta mengamankan investasi. Hal ini sejalan dengan cita-cita mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional.