Kejagung Usut Tuntas Dugaan Korupsi Kredit Macet Sritex Senilai Triliunan Rupiah
Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mendalami dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Hasil penyidikan sementara menunjukkan adanya potensi kerugian negara yang signifikan akibat kredit macet yang belum terbayar hingga Oktober 2024.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa total outstanding atau tagihan yang belum dilunasi oleh Sritex mencapai angka Rp 3,58 triliun. Jumlah ini merupakan akumulasi dari pinjaman yang diberikan oleh sejumlah bank pemerintah, baik daerah maupun himpunan bank milik negara (Himbara).
Rincian Kredit Macet Sritex:
- Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah (Bank Jateng): Rp 395,66 miliar
- Bank Pembangunan Daerah Banten dan Jawa Barat (Bank BJB): Rp 543,98 miliar
- Bank DKI Jakarta: Rp 149,01 miliar
- Bank Sindikasi (terdiri dari dua bank BUMN dan LPEI): Rp 2,5 triliun
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu:
- Iwan Setiawan Lukminto (Komisaris Utama sekaligus mantan Direktur Utama Sritex)
- Dicky Syahbandinata (Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB tahun 2020)
- Zainuddin Mapa (Direktur Utama Bank DKI Jakarta tahun 2020)
Modus Operandi yang Terungkap:
Berdasarkan hasil penyidikan, Zainuddin dan Dicky diduga melakukan tindakan melawan hukum dalam pemberian kredit kepada Sritex. Kredit tersebut disalurkan tanpa didasari analisis yang memadai, tidak memenuhi prosedur dan persyaratan yang ditetapkan, serta melanggar prinsip kehati-hatian perbankan.
Salah satu temuan krusial adalah Sritex tidak memenuhi syarat untuk menerima kredit modal kerja karena hasil penilaian menunjukkan peringkat BB-, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang tinggi. Padahal, seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya diberikan kepada perusahaan dengan peringkat A.
Selain itu, Iwan selaku Direktur Utama Sritex diduga menyalahgunakan dana kredit yang diterima dari BJB dan Bank DKI. Dana tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya sebagai modal kerja, melainkan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif. Akibatnya, kredit tersebut macet dan aset Sritex tidak dapat dieksekusi untuk menutupi kerugian negara karena nilainya lebih kecil dari nilai pinjaman.
Kejagung menyimpulkan bahwa pemberian kredit secara melawan hukum oleh Bank BJB dan Bank DKI Jakarta kepada Sritex telah mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 692,98 miliar. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saat ini, ketiga tersangka telah ditahan untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.