Amandemen UU Pemilu: Upaya Merongrong Demokrasi dari Dalam?

Pesta demokrasi, Pemilihan Umum (Pemilu), merupakan fondasi utama dari sistem pemerintahan yang mengakui kedaulatan rakyat. Namun, muncul kekhawatiran serius terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang terkesan dipaksakan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Alih-alih memperbaiki sistem, revisi ini justru dicurigai sebagai upaya mengamankan kepentingan elite politik, sehingga berpotensi merusak demokrasi dari dalam.

Proses revisi undang-undang ini berjalan tertutup, tanpa partisipasi publik yang berarti, dan terjebak dalam logika prosedural yang hanya menguntungkan elite, bukan rakyat. Sejak tahun 2019, revisi UU Pemilu selalu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan partai politik. Masalah-masalah substansial seperti politik uang, biaya pencalonan yang tinggi, minimnya representasi perempuan, dan krisis kaderisasi, justru terabaikan. Revisi UU Pemilu lebih sering diarahkan untuk mengatur sistem elektoral yang menguntungkan status quo.

Wacana tentang sistem proporsional tertutup versus terbuka pun mencuat, bukan sebagai upaya meningkatkan kualitas demokrasi, melainkan perebutan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Sebagian besar partai politik enggan mengubah sistem yang ada karena sistem terbuka saat ini memberikan ruang bagi praktik transaksional berbasis popularitas dan modal. Ironisnya, mereka yang lantang mengkritik sistem yang rusak, justru menjadi pelaku utama di dalamnya. Revisi ini pun menjadi kendaraan kepentingan, bukan koreksi atas kelemahan sistem yang ada.

Pemerintah mulai mewacanakan penggunaan e-voting. Namun, dalam konteks birokrasi yang belum transparan dan infrastruktur digital yang timpang, e-voting justru berpotensi membuka celah baru bagi manipulasi. Penerapan e-voting dalam Pilkades di lebih dari 1.900 desa menimbulkan pertanyaan tentang audit keamanan sistem dan kerentanan terhadap peretasan. Kesiapan masyarakat terhadap teknologi digital juga menjadi perhatian utama. E-voting bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal kepercayaan. Dalam sistem yang kurang transparan, digitalisasi dapat menjadi alat peminggiran, bukan pemberdayaan. Inovasi teknologi penting, tetapi transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang setara jauh lebih krusial.

Usulan pemisahan Pemilu nasional dan Pilkada juga menjadi sorotan. Secara teknis, pemisahan ini bertujuan meringankan beban kerja penyelenggara dan memberikan ruang edukasi politik yang lebih mendalam. Namun, muncul pertanyaan apakah motifnya murni teknis. Pemilu serentak yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menekankan pentingnya kesinambungan dan efisiensi dalam pelaksanaan demokrasi. Pemisahan justru akan membuat negara terus menerus dalam mode kampanye, menghambat pembangunan, dan membuat masyarakat lelah karena terus dijadikan objek kontestasi. Pemisahan juga berpotensi memperbesar celah politisasi di tingkat lokal dan memperkuat dinasti politik.

Revisi UU Pemilu seharusnya membahas arsitektur demokrasi dalam jangka panjang, namun sayangnya, prosesnya jauh dari partisipasi publik. Organisasi masyarakat sipil tidak dilibatkan secara substansial. Prosesnya tertutup, teknokratik, dan transaksional. Mahkamah Konstitusi telah menegaskan pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses legislasi, terutama undang-undang yang menentukan arah demokrasi. UU yang lahir tanpa partisipasi, adalah UU yang cacat secara demokratis.

Demokrasi yang sehat membutuhkan keterbukaan. RUU Pemilu harus dibahas secara terbuka, disiarkan kepada publik, dan dikonsultasikan dengan berbagai pemangku kepentingan. Jika tidak, revisi ini hanya akan menjadi konspirasi elite yang dibungkus legalitas prosedural.

Yang paling mengkhawatirkan adalah kesadaran bahwa demokrasi sedang dirusak dari dalam oleh mereka yang mengaku menjaganya. Pemilu bukan lagi alat rakyat untuk memilih pemimpin, melainkan instrumen elite untuk mempertahankan kekuasaan. Politik uang tidak diberantas, tetapi dikalkulasi. Sistem elektoral tidak dibenahi, tetapi disesuaikan. Digitalisasi bukan untuk rakyat, tetapi untuk efisiensi kekuasaan. Demokrasi dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Demokrasi membutuhkan reimajinasi, bukan sekadar perbaikan prosedur yang berulang-ulang tanpa mengatasi kerusakan struktural. Revisi UU Pemilu adalah peluang untuk memperbaiki sistem dari dalam, bukan mempermanenkan penyakit. Jika elite hanya fokus pada keuntungan partai, bukan pada bagaimana demokrasi bekerja untuk rakyat, maka demokrasi hanya akan menjadi panggung kosong. Pemilu hanya menjadi pertunjukan dengan rakyat sebagai penonton.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa demokrasi telah disabotase bukan oleh musuh dari luar, tetapi oleh politisi yang dipilih rakyat dan undang-undang yang disusun tanpa nurani. Kita tidak membutuhkan revisi UU Pemilu yang teknis, melainkan keberanian moral untuk mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya tentang suara terbanyak, tetapi juga tentang siapa yang didengar. Pemilu bukan sekadar angka, tetapi tentang makna. Jika revisi ini terus berjalan seperti sekarang, sejarah akan mencatat bahwa demokrasi Indonesia dirusak oleh tangan-tangan yang mengaku menjaganya.