Sengketa Tarif dan Asa UU Angkutan Online: Perjuangan Mitra Ojol Meraih Keadilan

Jeritan Mitra Ojol: Potongan Tarif yang Membebani

Di tengah hiruk pikuk perkotaan, para pengemudi ojek online (ojol) berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, kesejahteraan mereka terancam oleh sistem tarif dan potongan komisi yang dinilai tidak adil. Keluhan demi keluhan bermunculan, menyoroti ketidakseimbangan antara pendapatan yang diterima dengan biaya operasional yang harus ditanggung.

Ade Armansyah, perwakilan dari Kelompok Korban Aplikator, mengungkapkan kekecewaannya atas praktik yang ia sebut sebagai "sapi perah" oleh aplikator. Ia mempertanyakan transparansi perhitungan tarif yang diterapkan, yang menurutnya tidak memperhitungkan biaya operasional seperti bensin dan perawatan kendaraan. "Kami tidak pernah tahu hitungan dasar mereka apa, sampai menetapkan harga argo sebesar Rp 3.300," ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi V DPR RI.

Raden Igun Wicaksono, Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojol Garda Indonesia, menambahkan bahwa potongan komisi yang mencapai 50 persen melanggar ketentuan Kepmenhub KP Nomor 1001/2022 yang membatasi potongan maksimal sebesar 20 persen untuk roda dua. Ia menuntut agar aplikator mematuhi regulasi dan memberikan proporsi pendapatan yang lebih adil kepada mitra pengemudi.

Berikut adalah poin-poin keluhan utama para mitra ojol:

  • Potongan komisi yang tinggi: Mitra ojol merasa potongan komisi yang diterapkan aplikator terlalu besar dan tidak sesuai dengan biaya operasional yang mereka tanggung.
  • Kurangnya transparansi tarif: Mitra ojol mempertanyakan dasar perhitungan tarif yang digunakan aplikator dan merasa tidak dilibatkan dalam proses penetapan tarif.
  • Pelanggaran regulasi: Mitra ojol menuding aplikator melanggar Kepmenhub KP Nomor 1001/2022 terkait batasan potongan komisi.

Bantahan Aplikator dan Pembelaan Diri

Menanggapi keluhan tersebut, perwakilan dari aplikator seperti GoTo, Grab Indonesia, Maxim Indonesia, dan inDrive membantah tudingan bahwa mereka mengenakan potongan komisi melebihi 20 persen. Mereka menjelaskan bahwa biaya yang dibebankan kepada konsumen mencakup biaya jasa aplikasi (platform fee) dan biaya perjalanan. Potongan 20 persen hanya dikenakan pada biaya perjalanan, bukan pada total biaya yang dibayarkan konsumen.

Catherine Hindra Sutjahyo, Direktur GoTo, menjelaskan bahwa biaya jasa aplikasi berhubungan langsung antara konsumen dan aplikator, sementara biaya perjalanan melibatkan konsumen, pengemudi ojol, dan aplikator. Tyas Widyastuti, Director of Mobility & Logistics Grab Indonesia, menambahkan bahwa pengenaan platform fee adalah hal yang lumrah di industri berbasis teknologi dan tidak hanya berlaku pada platform transportasi daring.

Harapan pada Undang-Undang Angkutan Online

Di tengah polemik tarif dan potongan komisi, harapan baru muncul dari inisiatif DPR untuk mempercepat penyusunan Undang-Undang Angkutan Online. Ketua Komisi V DPR RI Lasarus menyatakan komitmennya untuk segera menyelesaikan naskah undang-undang tersebut dan membahasnya dengan anggota DPR lainnya.

Undang-Undang Angkutan Online diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pengemudi ojol dan mengatur berbagai aspek terkait hubungan kerja, sistem potongan tarif, dan perlindungan hak-hak mitra pengemudi. Raden Igun Wicaksono menekankan pentingnya pengakuan hukum terhadap profesi ojol melalui undang-undang yang terpisah dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), yang selama ini menganggap ojek online ilegal.

Dengan adanya Undang-Undang Angkutan Online, diharapkan regulasi yang ada dapat ditegakkan dengan lebih efektif dan memberikan sanksi bagi perusahaan aplikasi yang melanggar ketentuan. Hal ini akan menciptakan iklim yang lebih adil dan transparan bagi para mitra ojol, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.