Kejagung Usut Dugaan Manipulasi Laporan Keuangan Sritex Terkait Kredit Macet Triliunan Rupiah
Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mendalami dugaan kejanggalan dalam pemberian fasilitas kredit perbankan kepada perusahaan tekstil raksasa, PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Fokus investigasi tertuju pada perubahan signifikan dalam laporan keuangan perusahaan yang mengindikasikan potensi manipulasi.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa laporan keuangan Sritex menunjukkan anomali yang mencurigakan. Pada tahun 2020, perusahaan mencatatkan laba yang cukup besar, yaitu Rp 1,24 triliun. Namun, hanya berselang satu tahun, kondisi keuangan perusahaan berbalik drastis.
"Pada tahun 2021, Sritex melaporkan kerugian mencapai 1,08 miliar US Dollar, atau setara dengan Rp 15,65 triliun. Perubahan yang ekstrem ini menjadi sorotan utama tim penyidik," ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejagung, Jakarta, pada Rabu (21/5/2025).
Kejanggalan ini memicu kecurigaan adanya praktik window dressing atau manipulasi laporan keuangan untuk menarik investor atau mendapatkan fasilitas kredit yang lebih besar. Tim penyidik akan menelusuri lebih lanjut faktor-faktor yang menyebabkan penurunan drastis kinerja keuangan Sritex, termasuk kemungkinan adanya indikasi korupsi, kolusi, atau penyalahgunaan wewenang.
Selain itu, Kejagung juga menyoroti total tagihan atau kredit macet Sritex dan entitas anak perusahaannya yang mencapai Rp 3,58 triliun hingga Oktober 2024. Kredit tersebut berasal dari berbagai bank pemerintah, termasuk bank-bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), serta bank daerah. Investigasi juga mengungkap bahwa Sritex menerima kucuran kredit dari 20 bank swasta.
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka:
- Iwan Setiawan Lukminto (ISL), mantan Direktur Utama Sritex periode 2005-2022.
- Dicky Syahbandinata, Pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB.
- Zainudin Mapa, mantan Direktur Utama Bank DKI tahun 2020.
Akibat perbuatan melawan hukum para tersangka, negara diduga mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 692.987.592.188,00 dari total nilai outstanding atau tagihan yang belum dilunasi sebesar Rp 3.588.650.880.028,57.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.