Aksi Unjuk Rasa Mahasiswa UGM Berujung Ricuh: Rektorat Didemo Terkait Sembilan Tuntutan
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balairung berakhir dengan ketegangan. Aksi yang telah berlangsung selama satu minggu ini menuntut sembilan poin penting dari pihak rektorat.
Pada hari Rabu (21/5/2025), Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, beserta jajaran rektorat, menemui para mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di halaman Balairung. Dialog yang dimulai sekitar pukul 15.58 WIB tersebut diwarnai dengan adu argumen antara mahasiswa dan pihak rektorat.
Mahasiswa menyampaikan sembilan tuntutan yang meliputi berbagai isu, mulai dari mosi tidak percaya terhadap lembaga negara hingga penolakan militerisme di kampus. Selain itu, mahasiswa juga menyoroti masalah anggaran pendidikan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Setelah adzan Maghrib berkumandang, Rektor Ova Emilia meninggalkan lokasi dialog. Namun, beberapa mahasiswa mencoba menghentikan mobil rektorat dengan maksud melanjutkan dialog. Sekretaris Universitas Gadjah Mada, Andi Sandi, menjelaskan bahwa seluruh tuntutan mahasiswa telah didengarkan dan dijawab dalam forum tersebut. Pihak universitas menilai dialog telah berjalan dengan baik, meski terdapat dinamika di lapangan.
"Pada saat Ibu (Rektor UGM, Prof. Ova Emilia) akan kembali, Ibu kan belum shalat (magrib). Pada saat itu ada sedikit gesekan dengan teman-teman mahasiswa karena masih ingin Bu Ova ada di situ. Namun kan orang mau ibadah," ujar Andi Sandi.
Andi Sandi menambahkan, universitas telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk berdialog dengan mahasiswa. Ia menjelaskan bahwa dialog telah melebihi batas waktu yang telah ditentukan.
Berikut adalah sembilan tuntutan yang diajukan oleh mahasiswa UGM:
- Menuntut rektorat menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara negara.
- Menuntut rektorat menolak militerisme di kampus.
- Menuntut rektorat mencabut kebijakan terkait anggaran yang berkaitan tentang akademik dan non akademik.
- Menuntut rektorat memastikan nilai pungutan biaya pendidikan di UGM tidak terpengaruh oleh realokasi anggaran pendidikan oleh pemerintah pusat.
- Menuntut rektorat melakukan optimalisasi anggaran untuk menunjang operasional UGM di tengah realokasi anggaran pendidikan pemerintah pusat.
- Menuntut rektorat mewujudkan ruang publik yang inklusif untuk mahasiswa dari berbagai latar belakang.
- Menuntut rektorat melakukan pembacaan ulang terhadap seluruh perangkat penanganan, pencegahan dan pelaporan kekerasan seksual di UGM.
Salah satu tuntutan yang menjadi sorotan adalah permintaan mahasiswa agar rektorat menyatakan mosi tidak percaya terhadap lembaga-lembaga negara. Menanggapi hal ini, Andi Sandi menegaskan bahwa UGM tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah, namun sebagai institusi pendidikan, pendekatan yang diambil harus tetap berimbang.
"Kami kalau dikatakan mosi tidak percaya, itu saya kira statement yang agak kurang tepat bagi sebuah institusi pendidikan. Meskipun dari langkah-langkah itu bisa disimpulkan bahwa sebenarnya kami tetap kritis, tidak pernah berhenti untuk memberikan kritik," ucapnya.
Andi Sandi menambahkan bahwa UGM tidak hanya memberikan kritik, tetapi juga memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Ia menilai bahwa mosi tidak percaya bukanlah sikap yang tepat bagi sebuah institusi pendidikan.