APBN April 2025 Surplus: Momentum Pemulihan Ekonomi atau Sekadar Angka?

markdown Kabar baik menghampiri perekonomian Indonesia di tengah ketidakpastian global. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatatkan surplus pada April 2025, sebuah pencapaian yang disambut dengan harapan baru. Namun, di balik angka positif ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah surplus ini merupakan fondasi pemulihan ekonomi yang berkelanjutan atau hanya fenomena sesaat?

Setelah mengalami defisit dalam tiga bulan pertama tahun ini, APBN berbalik surplus sebesar Rp 4,3 triliun pada April 2025, setara dengan 0,02% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pendapatan negara mencapai Rp 810,5 triliun (27% dari target tahunan), sementara belanja negara terealisasi sebesar Rp 806,2 triliun (22,3% dari target). Keseimbangan primer juga surplus Rp 173,9 triliun, dan kas negara surplus Rp 283,6 triliun dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA), menjadikan total kas negara di atas Rp 600 triliun.

Surplus ini tentu menjadi angin segar di tengah tantangan ekonomi yang kompleks. Stabilitas fiskal dapat terjaga, ketergantungan pada utang berkurang, dan kepercayaan pasar berpotensi meningkat. Namun, penting untuk diingat bahwa surplus ini tidak serta merta menjamin pemulihan ekonomi yang merata. Daya beli masyarakat masih perlu ditingkatkan, dan investasi perlu digenjot.

Kinerja positif APBN ini didorong oleh beberapa faktor kunci:

  • Penerimaan Kepabeanan dan Cukai: Mencapai Rp 100 triliun, menunjukkan aktivitas perdagangan yang cukup baik.
  • Realisasi PNBP: Sebesar Rp 153,3 triliun, terutama ditopang oleh sektor pertambangan dan migas.

Namun, terdapat catatan penting. Penerimaan pajak masih terkontraksi sebesar 10,8%. Selain itu, surplus ini juga dipengaruhi oleh efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah.

Ketergantungan pada komoditas global, seperti batu bara, CPO, dan nikel, menjadi perhatian tersendiri. Fluktuasi harga komoditas dapat mempengaruhi stabilitas APBN. Pemerintah perlu mendiversifikasi basis penerimaan negara, misalnya melalui reformasi dan optimalisasi pajak digital.

Surplus yang terlalu cepat dianggap sebagai keberhasilan dapat menimbulkan euforia sesaat. Surplus di awal tahun bisa jadi disebabkan belum cairnya berbagai program belanja negara, atau yang disebut sebagai “surplus semu”. Penundaan belanja berpotensi menciptakan tekanan di akhir tahun dan mengurangi efektivitas penggunaan anggaran.

Pemerintah harus memanfaatkan surplus ini secara strategis untuk:

  • Mendorong investasi produktif.
  • Memperkuat jaring pengaman sosial.
  • Mendukung UMKM.
  • Mengembangkan infrastruktur berbasis wilayah.

Program makan bergizi gratis yang akan diluncurkan, jika dieksekusi dengan baik, dapat meningkatkan permintaan domestik, mengurangi stunting, dan memberdayakan UMKM lokal. Sektor pangan juga memiliki potensi besar sebagai motor pertumbuhan baru melalui investasi pada pertanian modern, logistik, dan inovasi.

Surplus APBN April 2025 adalah kabar baik, tetapi bukan berarti kita boleh berpuas diri. Pemerintah dan DPR perlu mengawal pemanfaatan surplus ini secara hati-hati dan terencana. Arah pembangunan ekonomi Indonesia harus fokus pada diversifikasi ekonomi, peningkatan kualitas belanja negara, pembangunan SDM, dan penguatan institusi fiskal.

Tantangan seperti pengangguran, ketimpangan, dan stagnasi industri manufaktur masih menghantui. Namun, dengan pengelolaan fiskal yang disiplin dan responsif, Indonesia memiliki peluang untuk mengubah surplus ini menjadi pijakan menuju kebangkitan ekonomi yang lebih merata dan inklusif. Surplus APBN April 2025 dapat menjadi titik balik positif bagi perekonomian Indonesia, asalkan dimanfaatkan secara optimal untuk memperkuat fondasi ekonomi dan mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan menuju “Indonesia Emas 2045”.