Gerakan Anti-Layar: Anak Muda Rindukan Dunia Tanpa Gawai?

Di tengah era digital yang serba terhubung, paradoks muncul di kalangan generasi muda. Sebuah kerinduan akan dunia yang lebih sederhana, dunia tanpa notifikasi yang terus berdering dan linimasa yang tak pernah usai, semakin menguat. Fenomena ini tercermin dalam berbagai survei dan inisiatif, menunjukkan bahwa 'kelelahan digital' bukan lagi sekadar wacana, melainkan realitas yang memengaruhi kesejahteraan mental dan sosial kaum muda.

Klub Offline: Oase di Gurun Digital

Salah satu contoh nyata dari perlawanan terhadap budaya 'always online' adalah Offline Club, sebuah gerakan yang mengajak orang-orang untuk secara sadar melepaskan diri dari perangkat digital mereka. Dengan lebih dari setengah juta pengikut di Instagram, ironi memang terasa. Namun, justru di platform yang sama, Offline Club menyebarkan pesan tentang pentingnya jeda dari dunia maya. Didirikan oleh tiga pemuda asal Belanda, Jordy, Ilya, dan Valentijn, klub ini bertujuan untuk mengembalikan interaksi manusiawi dalam masyarakat yang semakin terisolasi oleh layar.

Sejak setahun terakhir, mereka aktif mengadakan pertemuan tatap muka di berbagai kota di dunia. Pesertanya diajak untuk meninggalkan ponsel dan laptop, menikmati waktu bersama dengan membaca buku, bermain board game, atau sekadar bercengkerama. Konsep ini terbukti menarik minat banyak orang, yang merindukan kesederhanaan dan keintiman interaksi sebelum era ponsel pintar.

Survei Mengungkap Kerinduan yang Mendalam

Kerinduan akan dunia tanpa internet bukan hanya isapan jempol. Survei yang dilakukan oleh British Standards Institution (BSI) menunjukkan bahwa hampir 70 persen anak muda usia 16 hingga 21 tahun merasa lebih buruk setelah menghabiskan waktu di media sosial. Akibatnya, banyak dari mereka yang menerapkan 'jam malam digital', membatasi akses ke aplikasi dan situs web tertentu setelah pukul 10 malam. Bahkan, 46 persen responden menyatakan bahwa mereka lebih memilih untuk tumbuh besar di dunia tanpa internet.

Temuan ini sejalan dengan survei lain yang dilakukan oleh Harris Polls, yang menemukan bahwa banyak anak muda berharap platform seperti TikTok, Instagram, atau X tidak pernah ada. Angka-angka ini menjadi sinyal yang jelas bahwa generasi muda semakin sadar akan dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka.

Dampak Kesehatan Mental dan Respons Kebijakan

Penggunaan ponsel berlebihan telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, stres, gangguan tidur, dan perilaku adiktif. Penelitian menunjukkan bahwa mengurangi penggunaan ponsel pintar dapat menurunkan gejala depresi. Tren ini mendorong beberapa negara untuk mengambil langkah-langkah kebijakan guna melindungi generasi muda dari dampak negatif teknologi.

Australia telah menaikkan batas usia pengguna media sosial menjadi 16 tahun, sementara Denmark melarang penggunaan tablet dan ponsel pintar di sekolah. Menteri Teknologi Inggris juga mempertimbangkan pemberlakuan jam malam digital wajib. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah di seluruh dunia mulai menyadari perlunya regulasi yang lebih ketat untuk melindungi kesehatan mental generasi muda di era digital.

Mencari Keseimbangan

Gerakan anti-layar dan kerinduan akan dunia tanpa gawai bukan berarti menolak teknologi sepenuhnya. Lebih tepatnya, ini adalah upaya untuk mencari keseimbangan, untuk mengendalikan teknologi alih-alih dikendalikan olehnya. Generasi muda semakin sadar akan pentingnya membatasi waktu layar, memprioritaskan interaksi tatap muka, dan menemukan kegiatan yang memberikan kebahagiaan dan makna di luar dunia digital. Pertanyaan yang tersisa adalah, bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan di mana teknologi dapat digunakan secara positif dan bertanggung jawab, tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kesejahteraan sosial kita?