RUU KUHAP: Polemik Hakim Pemeriksa Pendahuluan Mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat DPR
Komisi III DPR RI mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang menghadirkan berbagai tokoh, termasuk perwakilan dari Persatuan Doktor Hukum Pascasarjana Indonesia dan Advokat Perempuan Indonesia (API). Fokus utama diskusi adalah usulan mengenai Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) atau Hakim Komisaris dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Prof. Abdul Khoir dari Persatuan Doktor Hukum Pascasarjana RI menyampaikan pandangannya bahwa pasal terkait HPP sebaiknya tidak dimasukkan dalam revisi KUHAP. Ia menekankan pentingnya diferensiasi fungsional antara penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan. Menurutnya, melibatkan HPP di awal proses penegakan hukum akan mengaburkan perbedaan mendasar antara fungsi-fungsi tersebut.
"Prinsip diferensiasi fungsional antara fungsi penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi pemeriksaan oleh aktor-aktor yang terkait adalah bukan kompromi, melainkan pembedaan. Sehingga, jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan dimasukkan dalam hulu proses penegakan hukum, berarti kita menyamakan sesuatu yang berbeda," tegas Prof. Khoir dalam rapat yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat.
Prof. Khoir berpendapat bahwa peran HPP sudah tidak relevan dalam era demokrasi saat ini. Konsep HPP, yang diusulkan untuk menggantikan praperadilan, justru dinilai dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Ada ide untuk memasukkan Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Pada masa lalu, konsep ini mungkin relevan, tetapi untuk era demokrasi seperti sekarang, supremasi hukum saat ini bertentangan dengan prinsip diferensiasi," jelas Prof. Khoir.
"Oleh karena itu, kami dari Persatuan Doktor Hukum Pascasarjana Indonesia tidak sepakat dengan keberadaan Hakim Pengawas atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Itu adalah pandangan kami," tambahnya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menjelaskan bahwa usulan mengenai HPP muncul karena adanya pandangan untuk melibatkan hakim dalam penetapan tersangka sejak awal proses. Gagasan ini bertujuan untuk memastikan penetapan tersangka lebih akurat dan mempermudah proses selanjutnya.
"Beberapa waktu lalu, tiba-tiba muncul gagasan, dan saya waktu itu merespons, bagaimana caranya agar penetapan tersangka itu dilakukan di awal. Biasanya, upaya paksa seperti penyitaan dan penahanan memerlukan izin dari pengadilan. Oleh karena itu, muncul ide untuk melibatkan hakim sejak awal penetapan tersangka agar prosesnya lebih lancar," ungkap Hinca.
Namun, usulan ini memicu perdebatan dan perbedaan pendapat. Hinca menyatakan sepakat dengan pandangan Prof. Khoir bahwa hakim seharusnya tidak ditarik ke depan sebagai penyidik. Peran hakim seharusnya tetap sebagai pemutus perkara, bukan sebagai bagian dari proses penyidikan.
"Setelah terjadi dialog, pro dan kontra, akhirnya kami merasa bahwa ini tidak diperlukan. Ketika Doktor Abdul Khoir hadir dan menjelaskan secara teoritis dan filosofis mengapa tidak setuju, kami sepakat bahwa hakim sebaiknya tetap pada posisinya dan tidak ditarik ke depan sebagai penyidik," pungkas Hinca.