Perpres Pengamanan Kejaksaan oleh TNI Diterbitkan, DPR Ingatkan Sifat Sementara

Kebijakan pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, menyampaikan harapannya agar penugasan tersebut tidak bersifat permanen.

Menanggapi terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 yang mengatur tentang pengamanan tersebut, Hinca menekankan pentingnya menjaga kewenangan masing-masing lembaga. Ia berpendapat, keterlibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan sebaiknya hanya dilakukan dalam kasus-kasus tertentu yang membutuhkan bantuan khusus. "Jangan permanen. Kalau saya kira tidak permanen. Mudah-mudahan tidak dalam jangka yang panjang atau apalagi permanen," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/5/2025).

Legislator tersebut meyakini bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki pertimbangan khusus dalam menerbitkan Perpres yang melanjutkan pengamanan Kejaksaan oleh TNI. Ia memberikan contoh kasus eksekusi lahan sawit milik DL Sitorus, seorang pengusaha asal Sumatera Utara, dimana keterlibatan TNI dinilai membantu proses pengamanan aset negara.

"Terakhir itu yang waktu eksekusi registernya tanah almarhum DL Sitorus yang sudah puluhan tahun enggak bisa dieksekusi, baru bisa dieksekusi dengan didampingi oleh teman-teman TNI dengan memasang plang, disita, dan seterusnya. Dilihat dari sisi itu, ya," kata Hinca.

Lebih lanjut, Hinca berharap bahwa landasan pertimbangan Presiden Prabowo dapat mengembalikan dinamika pengamanan di Kejaksaan ke kondisi normal, di mana bantuan pengamanan TNI tidak dilakukan secara permanen. Ia mengingatkan bahwa setiap lembaga negara memiliki kewenangan masing-masing, dan pengamanan secara umum merupakan ranah Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

"Saya kira Presiden punya pertimbangan khusus. Saya berharap tidak terlalu lama, mungkin ini dalam kurun waktu tertentu atau ada tugas-tugas khusus yang memerlukan pendampingan, tapi sesudah itu saya harap kembali normal," tuturnya.

Sebelumnya, isu mengenai keterlibatan TNI di luar fungsi pertahanan telah menjadi perdebatan publik. Kerjasama antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dan TNI dalam mengamankan lingkungan Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia menimbulkan pertanyaan mengenai batas kewenangan antara aparat militer dan sipil.

Pengerahan TNI ini ditandai dengan Surat Telegram (ST) Panglima TNI Bernomor TR/422/2025 yang ditindaklanjuti dengan ST Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Berderajat Kilat Nomor ST/1192/2025. Kasad memerintahkan jajarannya untuk menyiapkan dan mengerahkan personel beserta alat kelengkapan dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur, dengan rincian 30 personel untuk pengamanan Kajati dan 10 personel untuk pengamanan Kajari.

Pengamat hukum dan ketatanegaraan menilai bahwa kejelasan batas fungsi TNI harus ditegaskan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara aparat militer dan sipil dalam konteks negara hukum. Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, bahkan menekankan bahwa hal tersebut bertentangan dengan konstitusi negara dan peraturan perundang-undangan terkait, termasuk UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI.

"Panglima TNI dan KASAD hendaknya segera menarik dan membatalkan ST tersebut," tegas Hendardi kala itu.

Penerbitan Perpres oleh Presiden Prabowo ini semakin memperpanjang polemik terkait peran TNI dalam pengamanan di luar bidang pertahanan.