Pertamina Ajukan Perlindungan Hukum untuk Ekspansi Impor Migas dari Amerika Serikat

Pemerintah Indonesia tengah mengkaji peningkatan impor minyak dan gas bumi (migas) dari Amerika Serikat sebagai bagian dari strategi diversifikasi sumber energi. Menanggapi inisiatif ini, PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menerbitkan payung hukum yang kuat, yang akan menjadi landasan operasional bagi kerjasama suplai energi antara Pertamina dan mitra-mitra di Amerika Serikat.

Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyatakan bahwa dinamika kebijakan perdagangan internasional, termasuk penerapan tarif oleh Amerika Serikat, secara langsung memengaruhi arus perdagangan migas global. Saat ini, Pertamina telah menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat untuk impor minyak mentah, yang mencakup sekitar 4% dari total impor Indonesia, dan LPG, yang mencapai sekitar 57% dari total impor LPG, dengan nilai transaksi tahunan mencapai US$ 3 miliar.

"Sebagai bagian dari negosiasi pemerintah, Pertamina diminta untuk mengevaluasi portofolio impor migas saat ini dengan mempertimbangkan skenario peningkatan proporsi impor dari Amerika Serikat melalui pengalihan dari negara-negara lain. Penting untuk ditekankan bahwa pengalihan ini bersifat shifting sumber pasokan, bukan penambahan volume impor," ujar Simon dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI.

Sehubungan dengan rencana pengalihan impor ini, Pertamina telah berkoordinasi secara intensif dengan tim perunding pemerintah. Simon menjelaskan bahwa Pertamina saat ini sedang melakukan penjajakan untuk mengidentifikasi sumber-sumber suplai dari Amerika Serikat yang memenuhi persyaratan kualitas, volume, dan aspek komersial yang kompetitif.

Simon menekankan bahwa rencana peningkatan impor migas dari Amerika Serikat tidak terlepas dari berbagai tantangan teknis dan risiko yang perlu dipertimbangkan secara cermat. Hal ini mencakup aspek logistik dan distribusi, kesiapan infrastruktur, serta implikasi ekonomi untuk memitigasi risiko.

Salah satu risiko utama adalah jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih lama, yaitu sekitar 40 hari, dibandingkan dengan sumber pasokan dari Timur Tengah atau negara-negara Asia lainnya. Menurutnya, potensi gangguan cuaca, seperti badai atau kabut, dapat berdampak signifikan pada ketahanan stok nasional.

Untuk mengatasi tantangan ini, Pertamina sedang melakukan kajian komprehensif yang mencakup aspek teknis, komersial, dan risiko operasional. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa skenario peningkatan suplai dari Amerika Serikat dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

"Selain itu, kami juga memerlukan dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk payung hukum, baik melalui Peraturan Presiden maupun Peraturan Menteri, sebagai dasar pelaksanaan kerjasama suplai energi bagi Pertamina," tambah Simon.

Simon meyakini bahwa komitmen kerjasama antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat akan memberikan kepastian politik dan regulasi yang diperlukan untuk mendorong kerjasama business to business di tingkat teknis dan operasional antar perusahaan.