Polemik Kewenangan KPK dalam Mengusut Korupsi BUMN Pasca-Revisi Undang-Undang
Polemik Kewenangan KPK dalam Mengusut Korupsi BUMN Pasca-Revisi Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memicu perdebatan terkait kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN. Situasi ini diperparah dengan terbitnya Surat Edaran (SE) KPK Nomor 12/2025 yang mengatur pedoman pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan KPK pasca-berlakunya UU BUMN tersebut.
Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa kerugian keuangan BUMN, termasuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), tetap dianggap sebagai kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), asalkan kerugian tersebut disebabkan oleh perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang. Selain itu, SE tersebut juga menyatakan bahwa organ, pengurus, pejabat, dan pegawai BUMN tetap dianggap sebagai penyelenggara negara selama memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Namun, UU BUMN yang baru merevisi ketentuan dalam UU Nomor 19 Tahun 2003, mengubah paradigma modal BUMN dengan menghapus frasa "yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan." Penghapusan ini menimbulkan potensi benturan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama dalam definisi kerugian negara. Konsekuensinya, lembaga pemeriksa keuangan dan penegak hukum berpotensi kehilangan kewenangan untuk mengaudit BUMN dan menyidik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat BUMN. Hal ini sejalan dengan penerapan asas business judgment rule dalam tata kelola BUMN, yang memberikan perlindungan hukum kepada direksi atas kerugian yang timbul akibat keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik dan kehati-hatian.
Kontradiksi Hukum dan Ketidakpastian
Konflik antara UU BUMN dan SE KPK terletak pada kewenangan KPK untuk menindak BUMN dalam kasus korupsi. UU BUMN, sebagai aturan yang lebih spesifik (lex specialis derogat legi generali) dan lebih baru (lex posterior derogat legi priori), berpotensi mengesampingkan aturan yang lebih umum dan lebih lama terkait keuangan negara, perbendaharaan negara, dan pemberantasan korupsi.
Kondisi ini menciptakan ketidakpastian hukum. Pengadilan, dalam proses praperadilan, dapat menyatakan bahwa proses pemeriksaan telah dilakukan secara tidak sah, baik dalam penyidikan maupun penetapan tersangka. Hal ini akan menghambat upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, status SE KPK sebagai instrumen hukum juga menjadi sorotan. Dalam perspektif hukum administrasi negara, SE bukanlah bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan. SE merupakan surat perintah internal yang bertujuan untuk memperjelas peraturan perundang-undangan yang belum jelas. Oleh karena itu, secara teoritis, SE Ketua KPK yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk menyidik tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN dapat dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Upaya Mengatasi Polemik
Menghadapi realitas politik berupa UU BUMN hasil revisi, KPK dapat memanfaatkan lembaga konstitusional seperti Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menafsirkan kewenangan pengusutan tindak pidana korupsi di BUMN. Strategi ini pernah dilakukan KPK dalam perkara pengusutan anggaran di sektor militer dan pertahanan di tubuh TNI, yang menghasilkan penguatan kewenangan KPK oleh MK.
Selain itu, substansi SE KPK perlu diatur dalam aturan hukum yang lebih kuat, seperti peraturan perundang-undangan, untuk menjadi dasar hukum yang kokoh dalam penyidikan tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN. Realitas politik seringkali membuat penegakan hukum menjadi kompleks, dan UU BUMN dapat menjadikan pengawasan di BUMN menjadi lemah. Situasi ini menempatkan lembaga penegak hukum dan pemeriksa keuangan dalam posisi sulit untuk melakukan audit terhadap BUMN.
Refleksi dan Harapan
Kondisi ini menggarisbawahi pernyataan Prof. Mahfud MD bahwa "watak hukum tidak akan berubah dari siapa penguasanya." Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sampai kapan 'karut-marut' penegakan hukum tindak pidana korupsi ini akan berlanjut? Apakah persoalan ini dapat diselesaikan melalui struktur hukum yang ada?
Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menyatakan komitmennya untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Masyarakat kini menanti realisasi komitmen tersebut.