Garuda Indonesia Ungkap Faktor-Faktor Pemicu Kenaikan Harga Tiket Pesawat

Kenaikan harga tiket pesawat menjadi sorotan utama dalam beberapa waktu terakhir, memicu pertanyaan dan keluhan dari masyarakat. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, sebagai salah satu pemain utama dalam industri penerbangan nasional, memberikan penjelasan terkait faktor-faktor yang menyebabkan kondisi ini.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, Direktur Utama Garuda Indonesia, Wamildan Tsani, memaparkan sejumlah tantangan signifikan yang dihadapi maskapai. Tantangan-tantangan ini secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi pada peningkatan biaya operasional dan, pada akhirnya, berimbas pada harga tiket yang harus dibayarkan konsumen.

Wamildan menyebutkan tiga faktor utama yang menjadi penyebab mahalnya harga tiket pesawat:

  • Perubahan Struktur Biaya Maskapai: Sejak penetapan Tarif Batas Atas (TBA) terakhir pada tahun 2019, terjadi perubahan signifikan dalam struktur biaya maskapai. Kenaikan harga avtur, yang merupakan bahan bakar utama pesawat, menjadi salah satu faktor pendorong utama. Selain itu, biaya pemeliharaan pesawat (maintanance, repair, and overhaul/MRO) juga mengalami peningkatan.
  • Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah: Perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sejak tahun 2019 turut memberikan dampak besar pada biaya operasional maskapai. Sebagian besar biaya operasional maskapai, seperti sewa pesawat, biaya pemeliharaan, dan pembelian avtur, menggunakan mata uang Dolar AS. Pelemahan Rupiah menyebabkan biaya-biaya ini menjadi lebih mahal.
  • Margin Keuntungan yang Ketat: Maskapai penerbangan beroperasi dengan margin keuntungan yang relatif tipis. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan kecil dalam load factor (tingkat keterisian penumpang). Penurunan load factor sebesar 3-5% saja dapat berdampak signifikan pada profitabilitas maskapai.

Wamildan memberikan gambaran konkret mengenai dampak kenaikan biaya. Pada tahun 2019, penerbangan rute Cengkareng-Denpasar membutuhkan biaya sekitar Rp 194 juta. Namun, saat ini, biaya yang sama telah meningkat menjadi sekitar Rp 269 juta, atau naik sebesar 38%. Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh komponen biaya yang berbasis mata uang Dolar AS, seperti biaya pemeliharaan, avtur, sewa pesawat, serta biaya pemasaran dan pelayanan.

Lebih lanjut, Wamildan merujuk pada data dari International Air Transport Association (IATA) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2012 hingga 2019, seluruh ekosistem aviasi mengalami peningkatan margin keuntungan, kecuali maskapai penerbangan. Kondisi ini bahkan terjadi sebelum pandemi COVID-19 melanda dunia.

Menyikapi situasi ini, Garuda Indonesia mengusulkan penyesuaian TBA (Tarif Batas Atas). Usulan ini masih dalam tahap finalisasi bersama dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Wamildan menjelaskan bahwa perhitungan tarif yang sebelumnya hanya didasarkan pada jarak tempuh, kini akan mempertimbangkan pula block hour atau lamanya waktu penerbangan. Perubahan ini diharapkan dapat memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi maskapai dalam menentukan harga tiket, dengan tetap memperhatikan kepentingan konsumen.