Pertamina Hadapi Tekanan Ganda: Harga Minyak Dunia Anjlok dan Rupiah Melemah
PT Pertamina (Persero) mengungkapkan berbagai tantangan global yang berpotensi mempengaruhi kinerja bisnis perusahaan. Setidaknya, terdapat tiga faktor utama yang memberikan tekanan signifikan terhadap margin dan profitabilitas perseroan.
Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI bahwa sepanjang tahun 2024 hingga saat ini, Pertamina menghadapi tiga tekanan utama yang berdampak pada margin dan profitabilitas perusahaan. Salah satu faktor krusial adalah penurunan harga minyak mentah global. Simon menjelaskan bahwa harga minyak mentah dunia mengalami penurunan sekitar 15-20% dibandingkan tahun sebelumnya, dari rata-rata US$ 78 per barel menjadi US$ 65 per barel pada Mei 2025. Penurunan ini disebabkan oleh peningkatan jumlah kilang baru yang beroperasi, yang mengakibatkan penipisan crack spread menjadi US$ 10 per barel. Crack spread sendiri merupakan selisih antara harga bahan baku dan harga produk yang dihasilkan.
Selain tekanan dari harga minyak mentah, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga mencapai Rp 16.500 per dolar juga memberikan dampak signifikan terhadap transaksi pembayaran perusahaan. Menyikapi kondisi ini, Pertamina memfokuskan strategi pada peningkatan kapasitas produksi domestik, baik di sektor hulu maupun peningkatan serapan minyak dalam negeri. Upaya lain termasuk menjaga keandalan operasional di seluruh lini bisnis perusahaan.
Simon menambahkan, langkah diversifikasi sumber dan jalur impor juga terus diupayakan sebagai mitigasi risiko geopolitik dalam jalur distribusi. Pertamina juga menjalin koordinasi dengan pemerintah untuk mendapatkan dukungan kebijakan dan skema Government to Government (G2G) dalam menjaga stabilitas pasokan.
Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina, Wiko Migantoro, menjelaskan bahwa restrukturisasi akan dilakukan pada bisnis midstream, khususnya di sektor kilang. Kilang memiliki peran strategis dalam ketahanan energi nasional, menyediakan sekitar 70% pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM). Oleh karena itu, operasional kilang harus tetap terjaga dalam kondisi apapun.
"Restrukturisasi di bisnis midstream menjadi hal yang krusial bagi Pertamina saat ini dan sedang dalam proses inisiasi untuk segera dilaksanakan," terang Wiko.
Guna meningkatkan produksi dalam negeri, Pertamina terlibat dalam kelompok kerja bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Target produksi tahun ini ditetapkan sebesar 419 ribu barel per hari. Selain itu, implementasi program Biodiesel B40 diharapkan dapat mengurangi konsumsi solar hingga 9 juta barel per tahun. Pertamina juga telah memulai pemasaran bioetanol dan Sustainable Aviation Fuel (SAF).
Lebih lanjut, Pertamina akan berkoordinasi dengan pemerintah untuk menjajaki potensi kerjasama bilateral dengan negara-negara mitra. Tujuannya adalah untuk memperoleh pasokan yang lebih efisien. Dalam pengelolaan pasokan yang bersumber dari pasar internasional, Pertamina menerapkan skema RAE (Regular Alternative Emergency). Selain itu, diversifikasi sumber pasokan juga menjadi fokus utama. Tahun ini, Pertamina bersama pemerintah berupaya menjajaki sumber komoditas dari Amerika Serikat yang diperlukan sebagai bahan baku kilang maupun produk olahan.