RUU PPRT: ILO Dorong Kontrak Kerja Tertulis untuk Lindungi Pekerja Rumah Tangga
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) kembali menekankan pentingnya perlindungan bagi pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia. Salah satu poin krusial yang disuarakan adalah urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) untuk mewajibkan adanya kontrak kerja tertulis antara pemberi kerja dan PRT.
Dalam sebuah rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR RI, Program Officer ILO Indonesia, Lusiani Julia, menyampaikan bahwa kontrak tertulis menjadi fondasi penting dalam melindungi hak-hak PRT. Kontrak ini, menurutnya, harus berlaku bagi PRT yang direkrut secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan kontrak tertulis akan memberikan kejelasan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga meminimalisir potensi penyalahgunaan dan eksploitasi.
Selain kewajiban kontrak tertulis, ILO juga mendorong agar RUU PPRT mengatur secara komprehensif aspek-aspek penting lainnya, seperti:
- Pengupahan: Menetapkan standar upah yang adil dan layak bagi PRT.
- Jam Kerja: Mengatur jam kerja yang manusiawi dan tidak memberatkan PRT.
- Jam Istirahat: Memberikan hak istirahat yang cukup bagi PRT untuk menjaga kesehatan dan produktivitas mereka.
- Jaminan Sosial: Memastikan PRT terdaftar dalam program jaminan sosial untuk melindungi mereka dari risiko kecelakaan kerja, sakit, atau hari tua.
Lusiani Julia juga menambahkan bahwa pemerintah dan DPR RI dapat merujuk pada Konvensi ILO Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga sebagai acuan dalam menyusun RUU PPRT. Konvensi ini menetapkan standar-standar internasional mengenai hak-hak pekerja rumah tangga, termasuk hak atas upah yang adil, jam kerja yang wajar, dan kondisi kerja yang aman dan sehat.
ILO memahami bahwa pengaturan jam kerja dan upah bagi PRT tidak dapat disamakan dengan pekerja formal. Oleh karena itu, Lusiani mengusulkan agar pengaturan tersebut disesuaikan dengan kondisi spesifik PRT, sehingga menghasilkan solusi yang lebih adil dan efektif. Misalnya, jam kerja tidak harus terpaku pada jam kerja formal seperti pukul 09.00 hingga 17.00, tetapi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan antara pemberi kerja dan PRT.
Lebih lanjut, RUU PPRT juga perlu mengatur mengenai PRT yang bekerja paruh waktu, yaitu mereka yang bekerja sekitar 2-3 jam di beberapa rumah tangga sekaligus. Untuk memastikan RUU ini benar-benar efektif dan inklusif, ILO menekankan pentingnya melibatkan semua pihak terkait dalam proses perumusannya, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga komunitas-komunitas yang peduli terhadap isu PRT.
Sementara itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI sedang melakukan penyusunan ulang draf RUU PPRT. Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa penyusunan ulang ini dilakukan untuk menyesuaikan draf RUU dengan situasi dan kondisi terkini. Ia menargetkan agar RUU PPRT dapat disahkan pada tahun ini. Upaya untuk melindungi hak-hak PRT melalui RUU PPRT telah menjadi agenda legislasi sejak tahun 2004, namun hingga saat ini belum berhasil disahkan. Diharapkan, dengan adanya dorongan dari ILO dan komitmen dari DPR RI, RUU PPRT dapat segera diwujudkan menjadi undang-undang yang melindungi hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia.