Pedagang Kaki Lima Singapura Tercekik: Kenaikan Sewa Ancam Kelangsungan Usaha Kuliner

Kondisi memprihatinkan tengah dialami para pedagang makanan kaki lima di Singapura. Gelombang kenaikan harga sewa tempat usaha menjadi momok menakutkan yang memaksa banyak dari mereka untuk menutup bisnis yang telah lama dirintis. Ironisnya, situasi ini terjadi di tengah upaya para pedagang untuk menarik pelanggan dengan menawarkan harga yang terjangkau.

Seorang konsultan bernama Indera Tasripin, melalui unggahannya di Facebook, memicu perdebatan sengit mengenai kesenjangan sosial dan praktik yang dianggap tidak adil oleh pemilik lahan terhadap para pelaku usaha kecil di Singapura. Unggahan tersebut menyoroti penutupan sebuah warung makan Melayu populer di Woodland, yang terpaksa gulung tikar akibat lonjakan biaya sewa yang tak tertahankan.

Indera mengungkapkan kekecewaannya setelah mengetahui bahwa warung yang terkenal dengan hidangan lezat seperti mie siam dan mie rebus itu harus mengakhiri operasionalnya. Meskipun pemilik warung telah berupaya mempertahankan harga murah demi menarik pelanggan, beban biaya sewa yang terus meningkat menjadi pukulan telak yang tak dapat dihindari.

Menurut Indera, dalam dua bulan terakhir, pemilik warung tersebut berjuang keras untuk mengatasi biaya sewa yang melonjak hingga mencapai 8.000 dolar Singapura atau setara dengan sekitar 101 juta rupiah. Ia juga menuturkan kisah lain tentang para pedagang makanan yang harus berjibaku membayar biaya sewa antara 5.000 hingga 6.000 dolar Singapura demi mempertahankan usaha mereka.

Indera mempertanyakan kewajaran biaya sewa yang begitu tinggi, bahkan menyebutnya sebagai tindakan perampokan yang tidak adil. Ia membandingkan situasi ini dengan teman-temannya di agensi media dan pusat layanan lain, yang tidak dikenakan biaya sewa selangit meskipun menyewa ruang kantor yang lebih luas.

Merasa prihatin dengan nasib para pedagang makanan kaki lima, Indera kemudian menyampaikan keluhannya kepada Menteri Pembangunan Nasional Desmond Lee dan Anggota Parlemen Marsiling-Yew Tee GRC Hany Soh. Ia mendesak pihak terkait untuk mengatasi masalah ketimpangan sosial yang dialami oleh para pedagang kecil ini.

Sebagai solusi, Indera menyerukan agar pemerintah Singapura membuat regulasi yang dapat mencegah pemilik lahan untuk mengenakan biaya sewa yang berlebihan kepada para pemilik kios kecil. Ia berpendapat bahwa sistem yang berlaku saat ini membuat para pedagang makanan kecil tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan mekanisme pasar.

Unggahan Indera memicu beragam komentar dari netizen. Sebagian besar sepakat bahwa biaya sewa yang tinggi akan menghancurkan bisnis para pedagang kecil. Beberapa netizen bahkan memberikan contoh lain tentang dampak biaya sewa tinggi terhadap pedagang makanan di Singapura.

Salah seorang netizen mencontohkan sebuah warung makan di Yishun Void yang harus membayar sewa bulanan sekitar 3.500 dolar Singapura atau sekitar 44 juta rupiah. Contoh lain adalah sebuah warung makan di Hougang yang tidak mampu bertahan karena dikenakan biaya sewa sebesar 8.000 dolar Singapura atau sekitar 101 juta rupiah.

Ironisnya, tidak sedikit restoran legendaris di Singapura yang juga harus gulung tikar akibat biaya sewa yang terus meroket. Salah satunya adalah restoran nasi kari legendaris bernama New Scissor-Cut Curry Rice Restaurant di Geylang, yang telah berdiri selama 30 tahun. Meskipun telah menjadi ikon kuliner selama tiga dekade, pemilik restoran tersebut akhirnya memutuskan untuk menutup bisnisnya karena kondisi bisnis yang memburuk dan harga sewa tempat yang tak terjangkau.