Volume Minyakita di Pasaran Tak Sesuai Standar: Analisis Ekonomi Politik di Baliknya
Volume Minyakita di Pasaran Tak Sesuai Standar: Analisis Ekonomi Politik di Baliknya
Temuan mengejutkan datang dari hasil penelusuran langsung terhadap produk minyak goreng Minyakita. Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menemukan ketidaksesuaian volume isi kemasan dengan yang tertera. Kemasan berlabel 1 liter, nyatanya hanya berisi 750 hingga 800 mililiter. Penemuan ini didapatkan setelah pengukuran langsung menggunakan gelas takar terhadap sejumlah kemasan Minyakita yang dibeli di pasaran. Kejanggalan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai kelangsungan produksi dan dampaknya terhadap konsumen.
Analisis lebih jauh dari Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), mengungkap akar permasalahan tersebut. Menurutnya, ketimpangan volume ini tak terlepas dari disparitas antara Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dan biaya produksi yang sebenarnya. HET Minyakita yang ditetapkan sebesar Rp 15.700 per liter sejak 14 Agustus 2024, dinilai tidak lagi relevan dengan fluktuasi harga bahan baku dan biaya produksi lainnya.
Khudori memaparkan, harga Crude Palm Oil (CPO) dalam enam bulan terakhir berada di kisaran Rp 15.000 hingga Rp 16.000 per kilogram. Dengan mempertimbangkan konversi CPO ke minyak goreng (68,28 persen) dan asumsi 1 liter minyak setara 0,8 kilogram, harga CPO ideal agar Minyakita tetap sesuai HET seharusnya berada di angka maksimal Rp 13.400 per kilogram. Namun, ini baru perhitungan bahan baku CPO saja. Biaya pengolahan, distribusi, dan margin keuntungan belum diperhitungkan. Dengan demikian, harga CPO harus jauh lebih rendah agar produsen Minyakita dapat beroperasi tanpa merugi.
Lebih lanjut, Khudori menjelaskan bahwa aturan harga jual dari produsen ke distributor (D1) yang dibatasi maksimal Rp 13.500 per liter membuat produksi Minyakita tanpa kerugian menjadi mustahil. Kondisi ini menempatkan produsen dalam dilema yang sulit. Di satu sisi, mereka terikat pada HET, di sisi lain, mereka harus tetap menjaga kelangsungan bisnis. Hal ini berpotensi menimbulkan dua skenario: pertama, produsen tetap menjual Minyakita sesuai HET dengan mengorbankan kualitas, seperti mengurangi isi kemasan; kedua, produsen menjual Minyakita dengan kualitas sesuai standar, namun dengan harga di atas HET. Kedua skenario tersebut jelas melanggar aturan yang berlaku.
Khudori menekankan pentingnya pemerintah merevisi kebijakan HET agar tidak mendistorsi harga pasar. Sebagai alternatif, ia menyarankan penerapan skema transfer tunai bersyarat untuk membantu masyarakat miskin, kelompok rentan, dan UMKM dalam memperoleh Minyakita. Dengan skema ini, bantuan tunai hanya bisa digunakan untuk membeli Minyakita dan tidak dapat dicairkan atau digunakan untuk keperluan lain. Cara ini dinilai lebih tepat sasaran dan tidak akan mengganggu mekanisme pasar.
Kesimpulannya, permasalahan volume Minyakita yang tidak sesuai standar bukanlah semata-mata kesalahan produsen, tetapi merupakan cerminan dari kebijakan HET yang tidak lagi sinkron dengan kondisi riil perekonomian. Perlu adanya evaluasi menyeluruh dan revisi kebijakan yang lebih terukur untuk memastikan ketersediaan Minyakita dengan kualitas dan kuantitas yang sesuai, serta keberlanjutan usaha para produsennya. Alternatif solusi seperti skema transfer tunai dapat menjadi pertimbangan untuk menjamin aksesibilitas minyak goreng bagi masyarakat yang membutuhkan tanpa mengganggu dinamika pasar.