Polemik Pemilihan Ketua Kolegium Dokter: Saksi di MK Ungkap Proses Pemilihan Kontroversial Ala 'Indonesian Idol'

Persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) menghadirkan sorotan tajam terhadap proses pemilihan ketua kolegium dokter yang difasilitasi oleh Kementerian Kesehatan. Dokter spesialis bedah saraf, Zainal Muttaqin, menjadi saksi dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang diajukan oleh Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, Djohansjah Marzoeki.

Dalam keterangannya, Zainal mengkritik mekanisme pemilihan ketua kolegium yang dianggapnya janggal dan tidak transparan. Ia bahkan menganalogikannya dengan ajang pencarian bakat 'Indonesian Idol', di mana suara terbanyak seharusnya menjadi penentu, namun faktanya tidak demikian.

"Menteri Kesehatan pernah menyatakan bahwa ketua kolegium dipilih berdasarkan suara terbanyak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pemilih bukan hanya anggota kolegium, melainkan anggota organisasi profesi tanpa verifikasi yang jelas," ungkap Zainal di hadapan majelis hakim MK.

Zainal menjelaskan bahwa sebelumnya, pemilihan ketua kolegium dilakukan oleh ketua departemen dan kepala program studi (kaprodi) dari kalangan anggota kolegium. Namun, dalam pemilihan kali ini, semua anggota organisasi profesi diberi hak suara, yang menurutnya membuka celah bagi intervensi dan manipulasi.

Lebih lanjut, Zainal menyoroti kasus pemilihan ketua kolegium bedah saraf, di mana dokter yang terpilih bukanlah kandidat dengan suara terbanyak. "Di bedah saraf, yang dipilih bukan yang memperoleh suara terbanyak, melainkan yang berada di urutan keempat," tegasnya.

Kejanggalan lain yang diungkapkan Zainal adalah penunjukan dokter Ivan Sini sebagai ketua kolegium obstetri dan ginekologi (obsgin). Menurutnya, Ivan Sini tidak pernah mencalonkan diri, tidak memiliki pengalaman mengajar, dan lebih dikenal sebagai pengusaha rumah sakit. "Dia tidak pernah punya pengalaman mendidik, tetapi dia adalah pengusaha bisnis rumah sakit, pemilik Rumah Sakit Bunda. Dia ditunjuk oleh Menteri Kesehatan menjadi Ketua Kolegium Obstetri," kata Zainal.

Gugatan yang diajukan Djohansjah Marzoeki bertujuan untuk mengubah penafsiran Pasal 272 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan. Marzoeki berharap MK dapat memberikan penegasan bahwa pembentukan kolegium harus difasilitasi oleh negara tanpa adanya intervensi atau benturan kepentingan. Intinya, penggugat ingin memastikan bahwa pemerintah tidak mencampuri urusan kolegium, yang seharusnya menjadi wadah independen bagi para ahli di bidang kedokteran.

Gugatan ini bermula dari kekhawatiran akan independensi kolegium sebagai lembaga yang seharusnya mandiri dalam mengembangkan ilmu kedokteran. Intervensi dari pihak eksternal, terutama pemerintah, dikhawatirkan dapat menghambat kemajuan ilmu kedokteran dan membahayakan kualitas pelayanan kesehatan.

Berikut poin-poin penting yang mengemuka dalam persidangan:

  • Kritik terhadap Mekanisme Pemilihan: Proses pemilihan ketua kolegium dinilai tidak transparan dan rentan intervensi.
  • Analogi 'Indonesian Idol': Pemilihan ketua kolegium disamakan dengan ajang pencarian bakat, di mana suara terbanyak seharusnya menjadi penentu.
  • Penunjukan Kontroversial: Penunjukan ketua kolegium obstetri dan ginekologi (obsgin) menjadi sorotan karena latar belakang yang bersangkutan.
  • Tuntutan Independensi: Penggugat meminta agar kolegium dapat menjalankan tugasnya secara independen tanpa intervensi dari pemerintah.

Persidangan ini diharapkan dapat membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai peran dan fungsi kolegium dalam sistem kesehatan Indonesia. Independensi dan profesionalisme kolegium menjadi kunci penting dalam menjaga kualitas pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.