Kejaksaan Agung Ungkap Dugaan Korupsi Proyek PDNS, Sita Aset Miliaran Rupiah

Dugaan Korupsi Proyek Pusat Data Nasional Sementara Terungkap, Kejaksaan Sita Aset Miliaran Rupiah

Kejaksaan Agung Republik Indonesia melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) tengah gencar melakukan penyidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Serangkaian penggeledahan telah dilakukan di berbagai lokasi yang diduga terkait dengan kasus ini, dan hasilnya, tim penyidik berhasil menyita sejumlah aset bernilai fantastis.

Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Safrianto Zuriat Putra, mengungkapkan bahwa penggeledahan dilakukan di sejumlah tempat strategis, termasuk kantor Kementerian Komunikasi dan Digital, PT Pinang Alif Teknologi, sebuah apartemen di kawasan Jakarta Pusat, kantor PT Docotel di Jakarta Selatan, sebuah rumah mewah di Cilandak, perumahan elit di Tanah Sarea, Bogor, hingga sebuah rumah tinggal di Kota Tangerang Selatan, Banten. Selain itu, penggeledahan juga menyasar BDx Data Center di Kota Tangerang Selatan dan Kantor Pusat PT Aplikanusa Lintasarta di Menara Thamrin, Jakarta Pusat, serta Gedung Lintasarta di Cilandak, Jakarta Selatan.

Dari serangkaian penggeledahan tersebut, tim penyidik berhasil menyita uang tunai senilai lebih dari Rp 1 miliar, tepatnya Rp 1.781.097.828, yang diduga berasal dari para tersangka SAP, BDA, dan PPA. Selain uang tunai, kejaksaan juga menyita tiga unit mobil yang diduga terkait dengan tersangka SAP dan BDA, serta 176 gram logam mulia yang juga berasal dari tersangka yang sama. Tak hanya itu, tujuh Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah yang diduga milik SAP dan BDA, 55 barang bukti elektronik yang melibatkan SAP, BDA, NZ, PPA, AA, dan sejumlah saksi lainnya, serta 346 dokumen yang relevan dengan kasus ini turut diamankan.

Kasus ini menyeret lima orang sebagai tersangka, termasuk seorang mantan pejabat tinggi di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kini telah bertransformasi menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Kelima tersangka tersebut diduga melakukan praktik akal-akalan dalam proyek PDNS dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri.

Berikut adalah daftar kelima tersangka dalam kasus ini:

  • Semuel Abrizani Pangerapan (SAP), yang menjabat sebagai Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan Kementerian Komunikasi dan Informatika periode 2016-2024.
  • Bambang Dwi Anggono (BDA), yang menduduki posisi Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah pada Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Pemerintahan Kemenkominfo periode 2019-2023.
  • Nova Zanda (NZ), yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang atau jasa dan Pengelolaan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) pada Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 hingga 2024.
  • lfi Asman (AA), yang menjabat sebagai Direktur Bisnis PT Aplika Nusa Lintas Arta periode 2014-2023.
  • Pini Panggar Agusti (PPA), yang bertugas sebagai Account Manager PT Dokotel Teknologi (2017-2021).

Kasus ini bermula dari terbitnya Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE), yang mengamanatkan pembentukan Pusat Data Nasional (PDN) sebagai upaya untuk mengintegrasikan pengelolaan data secara mandiri dan menjadi infrastruktur SPBE Nasional. Namun, pada tahun 2019, Kominfo justru membentuk Pusat Data Nasional yang bersifat sementara, yang dinilai bertentangan dengan Perpres tersebut. Menurut Safrianto, pembentukan PDNS ini hanyalah akal-akalan para tersangka untuk mencari keuntungan pribadi.

Dalam pelaksanaan proyek PDNS, terindikasi adanya praktik kongkalikong antara pejabat Kominfo dengan pihak swasta dalam proses pemenangan kontrak. Bahkan, barang yang digunakan untuk layanan PDNS diduga tidak memenuhi spesifikasi teknis yang telah ditetapkan. Para tersangka diduga sengaja menggunakan barang yang tidak sesuai spesifikasi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang kemudian digunakan untuk menyuap pejabat di Kominfo.

Proyek PDNS ini menelan biaya yang sangat besar, mencapai Rp 959.485.181.470, dengan rincian sebagai berikut:

  • Tahun 2020: Rp 60.378.450.000
  • Tahun 2021: Rp 102.671.346.360
  • Tahun 2022: Rp 188.900.000.000
  • Tahun 2023: Rp 350.959.942.158
  • Tahun 2024: Rp 256.575.442.952

Kasus ini masih terus dalam pengembangan oleh Kejaksaan Agung RI, dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka lain yang terlibat dalam pusaran korupsi proyek PDNS ini.