Dinamika Dunia Kurir Paket: Antara Tuntutan Kerja Tinggi dan Kesejahteraan yang Belum Terjamin

Realitas di Balik Layar Industri Kurir Paket

Peningkatan signifikan dalam aktivitas belanja daring telah menempatkan kurir paket sebagai garda terdepan dalam memastikan barang sampai ke tangan konsumen. Namun, di balik peran krusial ini, terungkap fakta mengenai sistem upah yang belum sepenuhnya menjamin kesejahteraan para pekerja.

Banyak kurir, seperti Riskana dan Aqil, mengandalkan upah berdasarkan jumlah paket yang berhasil diantarkan. Riskana, seorang kurir berpengalaman di Jakarta Selatan, mengungkapkan bahwa ia menerima kompensasi sebesar Rp 1.800 per paket. Tarif ini meningkat menjadi Rp 5.500 untuk paket dengan berat di atas tiga kilogram, dan pembayaran dilakukan setiap bulan. Dengan mengirimkan sekitar 2.000 paket per bulan, Riskana dapat memperoleh penghasilan sekitar Rp 3,6 juta. Pada bulan-bulan sibuk, penghasilannya bisa mencapai Rp 5 juta lebih berkat pengiriman paket-paket berat. Selain itu, terdapat insentif pada hari libur nasional atau hari besar, dengan syarat minimal pengiriman 50 paket untuk mendapatkan tambahan Rp 200.000.

Namun, pendapatan yang diterima tidak sepenuhnya menjadi milik mereka. Kurir juga diwajibkan membayar deposit sebagai jaminan. Riskana, misalnya, harus menyetor deposit sebesar Rp 3 juta yang dipotong secara bertahap dari gajinya setiap bulan. Uang deposit ini akan dikembalikan setelah tiga bulan sejak kurir berhenti bekerja.

Senada dengan Riskana, Aqil, seorang kurir muda di Kramat Jati, Jakarta Timur, menjelaskan bahwa dirinya berstatus sebagai mitra perusahaan ekspedisi, bukan karyawan tetap. Hal ini berarti ia tidak menerima gaji pokok dan hanya dibayar berdasarkan jumlah paket yang berhasil diantarkan, yaitu Rp 2.000 per paket. Dalam sehari, Aqil mampu mengantarkan 70 hingga 100 paket, tergantung ketersediaan paket yang ada. Namun, status sebagai mitra juga membuat mereka lebih rentan. Prioritas distribusi paket seringkali diberikan kepada kurir yang berstatus karyawan tetap atau "dedicated".

Tantangan dan Tekanan yang Dihadapi

Pekerjaan sebagai kurir juga tidak terlepas dari berbagai risiko. Salah satunya adalah risiko kehilangan paket, yang mengharuskan kurir mengganti kerugian. Aqil pernah mengalami kerugian sebesar Rp 150.000, sementara rekannya bahkan harus mengganti hingga Rp 2 juta karena kehilangan telepon genggam. Beban ini tentu sangat berat, terutama mengingat penghasilan harian yang tidak seberapa.

Selain itu, para kurir juga mengkhawatirkan kebijakan pemerintah terkait pembatasan program gratis ongkos kirim (ongkir) pada platform e-commerce. Pembatasan ini dikhawatirkan akan menurunkan jumlah transaksi, yang pada akhirnya berdampak pada jumlah paket yang harus dikirim. Aqil mengungkapkan kekhawatirannya bahwa jika jumlah paket berkurang, kurir mitra seperti dirinya bisa tidak mendapatkan bagian pekerjaan, terutama jika karyawan tetap mendapatkan prioritas.

Saleh, seorang kurir di Jakarta Timur dengan pengalaman tujuh tahun, juga merasakan dampak serupa. Ia yang sebelumnya berstatus karyawan tetap kini menjadi mitra, dengan upah dihitung per paket sebesar Rp 1.800. Saleh juga menyoroti potensi dampak buruk dari pembatasan gratis ongkir terhadap volume pengiriman. Ia berharap agar penurunan pengguna ekspedisi tidak terjadi, karena hal ini akan langsung berdampak pada penghasilan mereka.

Pekerjaan sebagai kurir seringkali dianggap sederhana, yaitu mengantarkan paket dari satu tempat ke tempat lain. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Para kurir harus menghadapi penghasilan yang minim, beban kerja yang tinggi, risiko kerugian pribadi, dan ketidakpastian yang terus menghantui. Mereka bekerja dalam sistem yang menuntut produktivitas tinggi, namun belum tentu memberikan perlindungan yang layak.

Di tengah peran vital mereka dalam mendukung ekonomi digital, para kurir berharap adanya perhatian lebih dari perusahaan ekspedisi dan pemerintah untuk memberikan jaminan kerja yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.