Perpanjangan Usia Pensiun ASN: Antara Reformasi Birokrasi dan Kepentingan Elit
Reformasi birokrasi, yang seharusnya menjadi fondasi bagi perbaikan tata kelola pemerintahan, kini tereduksi menjadi sekadar jargon formalitas. Frasa 'Reformasi Birokrasi Berdampak Kesejahteraan Masyarakat' bergema di berbagai forum, namun esensinya seringkali kabur, menimbulkan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang diuntungkan: seluruh masyarakat atau hanya segelintir elit birokrasi?
Dalam sebuah sarasehan yang membahas perubahan geopolitik dunia, terungkap bahwa efisiensi anggaran masih menjadi kendala utama yang menghambat pelayanan publik. Beberapa kepala daerah mengeluhkan penurunan produktivitas ASN, menggarisbawahi adanya kesenjangan antara retorika reformasi dan realitas di lapangan. Kebijakan efisiensi anggaran yang sulit diadaptasi oleh daerah berdampak pada keterlambatan belanja daerah, yang pada akhirnya melemahkan daya beli masyarakat.
Wacana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menjadi sorotan tajam dalam konteks ini. Alih-alih memperkuat meritokrasi, efisiensi, dan akuntabilitas, revisi ini justru berpotensi menjadi ajang untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu dalam birokrasi.
Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) baru-baru ini mengusulkan perpanjangan masa jabatan ASN kepada Presiden, meliputi jabatan manajerial (pejabat tinggi utama dari 60 menjadi 65 tahun, pejabat pimpinan tinggi madya dari 60 menjadi 63 tahun, pejabat pimpinan tinggi pratama dari 60 menjadi 62 tahun, pejabat administrator dan pengawas dari 58 menjadi 60 tahun) hingga jabatan non-manajerial. Usulan ini diklaim sebagai upaya penguatan ASN demi mewujudkan 'Asta Cita', namun menimbulkan pertanyaan kritis: Apakah usulan ini benar-benar mewakili seluruh ASN atau hanya kepentingan segelintir pimpinan Korpri?
Berikut adalah beberapa poin yang menjadi perhatian:
- Relevansi dengan Asta Cita: Apakah perpanjangan masa jabatan benar-benar berkorelasi dengan pencapaian Asta Cita?
- Dampak pada Reformasi Birokrasi: Sejauh mana perpanjangan masa jabatan berkontribusi pada reformasi birokrasi?
- Kondisi Ekonomi Rakyat: Bagaimana usulan ini dapat diterima di tengah kondisi ekonomi yang sulit, kemiskinan struktural yang meluas, dan tingginya angka korupsi?
Jika usulan ini direalisasikan, anggaran negara berpotensi tersedot untuk operasional birokrasi, mengorbankan layanan publik yang seharusnya menjadi prioritas. Negara-negara maju justru mengambil langkah berani untuk memangkas birokrasi demi efisiensi dan produktivitas. Contohnya, Amerika Serikat dan Vietnam telah melakukan restrukturisasi besar-besaran untuk menciptakan birokrasi yang lebih gesit dan hemat anggaran.
Ironisnya, di tengah perlambatan ekonomi, beban fiskal yang meningkat, dan tingginya ketimpangan sosial, Indonesia justru mempertimbangkan perpanjangan masa jabatan ASN. Hal ini seolah bertentangan dengan tuntutan zaman yang membutuhkan percepatan dan efisiensi.
Data dari BPS menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran, terutama di kalangan lulusan diploma dan sarjana. Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan etis: Apakah memperpanjang masa jabatan ASN lebih penting daripada memberikan kesempatan kepada generasi muda terdidik?
Belanja pegawai dalam APBN terus meningkat, mengalahkan belanja modal, subsidi, dan belanja lainnya. Hal ini menciptakan paradoks reformasi birokrasi, di mana narasi yang dibangun adalah birokrasi yang gesit dan adaptif, namun kebijakan yang diambil justru konservatif.
Jika reformasi birokrasi benar-benar bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka ukurannya bukanlah seberapa banyak ASN yang berhasil mempertahankan posisinya, melainkan seberapa besar dampak positif yang dihasilkan bagi masyarakat, terutama dalam mengurangi kemiskinan struktural. Penguatan ASN seharusnya fokus pada peningkatan kapabilitas, akuntabilitas, dan integritas, bukan sekadar perpanjangan masa jabatan.
Revisi UU ASN harus menjadi momentum untuk membangun birokrasi yang meritokratik dan berpihak pada rakyat, bukan melanggengkan birokrasi yang transaksional dan eksklusif. Di tengah penderitaan rakyat dan meningkatnya pengangguran terdidik, perpanjangan masa jabatan bukanlah prioritas yang tepat. Korpri seharusnya menyuarakan reformasi birokrasi yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan kenyamanan birokrat.