Komdigi Bereaksi Terhadap Dugaan Korupsi PDNS, Bentuk Tim Evaluasi Internal

Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid, mengambil langkah cepat dengan membentuk tim evaluasi internal untuk menanggapi kasus dugaan korupsi yang melibatkan proyek Pusat Data Nasional Sementara (PDNS). Langkah ini diambil setelah Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menetapkan lima tersangka terkait dugaan korupsi dalam pengadaan barang/jasa dan pengelolaan PDNS di lingkungan kementerian tersebut pada periode 2020-2024.

Meutya Hafid menyatakan bahwa tim internal ini akan bertugas melakukan pembenahan menyeluruh terkait tata kelola proyek pusat data. Pembentukan tim ini menunjukkan keseriusan Komdigi dalam menanggapi isu korupsi dan berupaya memperbaiki sistem yang ada.

Dari lima tersangka yang ditetapkan, dua di antaranya adalah pejabat Komdigi, yaitu Direktur Jenderal Aplikasi Informatika periode 2016-2024, Samuel Abrijanu Pangerapan, dan Direktur Layanan Aplikasi Informatika Pemerintah periode 2019-2023, Bambang Dwi Anggono. Meutya Hafid menegaskan bahwa kedua pegawai tersebut telah diberhentikan dari tugas dan fungsinya untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan.

Tiga tersangka lainnya adalah pejabat pembuat komitmen (PPK) tahun 2020, Nova Zanda; Direktur Bisnis PT Aplikanusa Lintasarta periode 2014-2023, Alfie Asman; dan Account Manager PT Docotel Teknologi periode 2017-2021, Pini Anggar Agusti.

Meutya Hafid juga menekankan komitmen kementeriannya untuk mendukung upaya hukum yang tengah dilakukan oleh aparat penegak hukum. Ia menyatakan bahwa kedaulatan digital nasional tidak boleh terganggu oleh kasus ini. Komdigi ingin memastikan bahwa anggaran publik digunakan untuk kepentingan rakyat dengan prinsip integritas sebagai fondasi utama.

"Peristiwa ini menjadi pengingat penting bahwa kelembagaan digital harus dibangun di atas integritas," kata Meutya Hafid. "Kami jadikan ini sebagai momen untuk memperkuat sistem pengawasan internal, memperbaiki prosedur, dan menegakkan akuntabilitas di seluruh lini. Reformasi tata kelola digital adalah keharusan, bukan pilihan."

Kasus ini bermula dari dugaan penyalahgunaan anggaran proyek PDNS yang tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE). Seharusnya, pengelolaan data pemerintah dilakukan secara mandiri oleh pemerintah, tetapi dalam praktiknya, proyek ini justru melibatkan pihak swasta yang diduga tidak memenuhi spesifikasi teknis yang disyaratkan.

Menurut Kajari Jakarta Pusat, pada tahun 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika justru membentuk Pusat Data Nasional Sementara dengan nomenklatur dalam DIPA Tahun 2020 adalah Penyediaan Jasa Layanan Komputasi Awan laaS 2020.

Investigasi yang dilakukan menemukan indikasi pengkondisian dalam pelaksanaan tender PDNS, di mana dokumen pengadaan dan spesifikasi teknis mengarah pada perusahaan tertentu. Proses tender tersebut dimenangkan oleh perusahaan yang kemudian mensubkontrakkan proyek kepada pihak lain dengan barang-barang yang tidak sesuai standar teknis.

Keuntungan yang didapat dari praktik ini termasuk pembayaran suap dan kickback. Total anggaran proyek PDNS yang disalurkan dari tahun 2020 hingga 2024 mencapai Rp 959 miliar, dengan rincian sebagai berikut:

  • Tahun 2020: Rp 60,37 miliar
  • Tahun 2021: Rp 102,67 miliar
  • Tahun 2022: Rp 188,90 miliar
  • Tahun 2023: Rp 350,96 miliar
  • Tahun 2024: Rp 256,57 miliar

Penyidik telah melakukan penggeledahan di berbagai lokasi terkait, termasuk kantor Kementerian Kominfo dan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek ini. Selama penyelidikan, 78 saksi dan 4 ahli telah diperiksa. Dari hasil penggeledahan, penyidik menyita barang bukti berupa uang tunai Rp 1,78 miliar, kendaraan, logam mulia, sertifikat tanah, barang bukti elektronik, dan dokumen penting lainnya.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.