Akuntabilitas Dana Publik untuk Partai Politik: Antara Legalitas dan Legitimasi
Partai politik memegang peranan krusial dalam sistem demokrasi modern, lebih dari sekadar kendaraan menuju kekuasaan. Mereka merupakan fondasi negara hukum yang demokratis.
Oleh karena itu, alokasi anggaran publik untuk partai politik merupakan keputusan yang sarat akan akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada rakyat. Ini bukan hanya tentang jumlah dana yang dialokasikan, yang terus meningkat setiap tahunnya, tetapi juga tentang bagaimana partai politik mengelola dana tersebut dengan etika dan tanggung jawab konstitusional.
Amanat Undang-Undang dan Kedaulatan Rakyat
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 menjadi landasan hukum bagi negara untuk memberikan bantuan keuangan kepada partai politik yang memiliki kursi di parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bantuan ini diberikan berdasarkan jumlah suara sah yang diperoleh partai, dengan nilai yang berbeda di setiap tingkatan.
Formulasi ini mencerminkan prinsip keadilan elektoral, di mana semakin besar dukungan yang diberikan rakyat, semakin besar pula bantuan yang diterima partai. Namun, pendistribusian dana ini harus dipahami dalam konteks kedaulatan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dana yang diberikan negara kepada partai politik adalah amanah dari rakyat yang harus dikelola dengan transparan dan bertanggung jawab.
Jurang Antara Legalitas dan Legitimasi
Secara administratif, partai politik wajib menyusun laporan pertanggungjawaban keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Meskipun laporan-laporan ini seringkali memenuhi persyaratan legalitas, namun legalitas tidak selalu menjamin legitimasi. Laporan yang rapi tidak selalu mencerminkan penggunaan dana yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan publik.
Banyak laporan yang hanya mencantumkan kegiatan-kegiatan formal seperti seminar, pelatihan kader, dan diskusi kebangsaan. Sulit untuk menemukan dampak nyata dari kegiatan-kegiatan tersebut di masyarakat. Kualitas kader tidak meningkat secara signifikan, partisipasi politik masyarakat tidak terdongkrak, dan praktik politik transaksional terus berlanjut. Hal ini menciptakan jurang antara partai politik dan masyarakat.
Pendidikan Politik yang Seremonial
Salah satu tujuan utama pemberian dana publik adalah untuk melaksanakan pendidikan politik, sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 1 Tahun 2018. Namun, pelaksanaan pendidikan politik oleh partai politik seringkali bersifat seremonial dan hanya dilakukan menjelang pemilu sebagai upaya mobilisasi, bukan untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat secara berkelanjutan.
Tidak ada indikator keberhasilan yang jelas, dan kegiatan ini kerap menjadi ajang internalisasi loyalitas buta kepada elite partai, bukan pembentukan warga negara yang kritis dan sadar konstitusi. Padahal, di tengah memburuknya kualitas diskursus politik dan suburnya disinformasi, pendidikan politik yang bermutu sangat dibutuhkan.
Urgensi Transparansi dan Akuntabilitas
Akuntabilitas sejati membutuhkan transparansi. Sayangnya, laporan keuangan partai yang dibiayai oleh negara jarang menjadi dokumen publik. Masyarakat tidak tahu berapa dana yang diterima partai, digunakan untuk apa saja, dan bagaimana hasilnya. Partai cenderung menganggap laporan keuangan sebagai urusan internal yang cukup diketahui oleh negara saja.
Padahal, sebagai penerima dana publik, partai politik memiliki tanggung jawab ganda. Selain menyampaikan laporan ke BPK, mereka juga seharusnya membuka diri kepada publik. Setiap rupiah yang digunakan harus bisa dipertanggungjawabkan tidak hanya secara administratif, tetapi juga secara etis dan sosial.
Peran Negara dan Ketegasan Regulasi
Negara telah menetapkan sanksi administratif bagi partai yang tidak menyampaikan laporan atau terlambat melapor. Namun, implementasi sanksi ini masih lemah. Diperlukan ketegasan yang lebih substantif.
Negara harus hadir bukan hanya sebagai penyedia anggaran, tetapi juga sebagai penjaga etika penggunaan anggaran. Bukan tidak mungkin, perlu dipertimbangkan adanya sanksi etik yang berdampak pada hak politik partai di masa depan jika pelaporan dilakukan dengan cara fiktif atau manipulatif.
Negara juga dapat memperluas peran KPU dan Bawaslu untuk tidak hanya mengawasi dana kampanye, tetapi juga dana operasional partai yang berasal dari negara. Pengawasan yang dilakukan oleh banyak pihak dapat memperkuat kontrol dan mempersempit ruang penyimpangan.
Reformasi pendanaan partai tidak cukup dengan memperbesar alokasi. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa dana itu benar-benar sampai ke masyarakat dalam bentuk manfaat politik.
Itu berarti partai harus mempublikasikan laporan keuangannya secara berkala di laman resmi. Laporan tersebut harus terbuka, tidak hanya pada bentuk, tetapi juga isi.
Di sisi lain, kegiatan yang dibiayai dengan dana publik harus diarahkan pada capaian nyata. Pendidikan politik bukan hanya jumlah peserta dan modul pelatihan, tetapi juga perubahan perilaku politik warga dan kader.
Indikator keberhasilan perlu dikembangkan, bukan hanya dokumen formal yang disusun sekadar menggugurkan kewajiban.
Uang yang diterima partai politik dari negara bukan dana netral. Ia adalah bagian dari kedaulatan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk fiskal.
Maka, setiap rupiah yang digunakan, setiap kegiatan yang diselenggarakan, dan setiap laporan yang dibuat, harus merefleksikan prinsip-prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap etika demokrasi.