DPR Mendorong Penerapan Sanksi Tegas bagi Perusahaan yang Menahan Ijazah Karyawan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyoroti perlunya pengawasan yang ketat dan penerapan sanksi yang tegas terkait dengan larangan penahanan ijazah dan dokumen pribadi karyawan oleh perusahaan. Hal ini menyusul terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 yang secara eksplisit melarang praktik tersebut.
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menekankan bahwa larangan ini tidak akan efektif jika tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang kuat dan sanksi yang memberatkan bagi perusahaan yang melanggar. Tanpa adanya tindakan nyata, larangan tersebut hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tidak berdampak.
"Jika hanya berhenti di edaran (larangan), tanpa pengawasan dan sanksi tegas, ini akan jadi dokumen mati," tegas Puan dalam keterangan persnya.
Guna memastikan implementasi yang efektif, Puan mendorong Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) bersama dengan dinas ketenagakerjaan di tingkat daerah untuk segera melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap perusahaan-perusahaan yang masih mempraktikkan penahanan ijazah karyawan. Fokus utama sidak ini adalah kawasan industri dan zona-zona dengan kepadatan tenaga kerja yang tinggi.
Praktik penahanan dokumen seringkali terjadi pada sektor-sektor yang mempekerjakan pekerja dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah, seperti buruh pabrik, pekerja migran, dan tenaga kerja kontrak. Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap praktik eksploitasi dan pembatasan hak.
DPR RI berencana untuk meminta laporan secara berkala dari Kemenaker terkait implementasi SE tersebut. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak pekerja sebagai warga negara yang memiliki hak atas keadilan, mobilitas sosial, dan perlindungan hukum terjamin.
"DPR RI melalui Komisi terkait juga akan meminta Kemenaker untuk terus menyampaikan laporan berkala soal implementasinya. Jika negara membiarkan praktik penahanan dokumen pekerja terjadi, artinya negara tidak menjamin hak-hak pekerja yang merupakan amanat konstitusi," ujar Puan.
Puan Maharani, yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengungkapkan keprihatinannya terhadap praktik "kunci gembok psikologis" dalam hubungan kerja. Dalam banyak kasus, pekerja dipaksa menyerahkan ijazah sebagai syarat untuk bekerja tanpa adanya perjanjian yang jelas atau perlindungan hukum yang memadai.
"Jangan lagi biarkan relasi kerja diwarnai praktik kunci gembok psikologis semacam ini. Kalau pekerja tidak punya akses ke dokumen pribadinya sendiri, bagaimana mereka bisa berpindah kerja, naik jenjang karier, atau bahkan sekadar mencari keadilan?" tanyanya.
Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/5/HK.04.00/V/2025 secara tegas melarang perusahaan untuk menahan ijazah karyawan. Selain ijazah, dokumen pribadi lain seperti sertifikat kompetensi, paspor, akta kelahiran, buku nikah, dan buku pemilik kendaraan bermotor juga tidak boleh ditahan oleh perusahaan.
Pemerintah mengimbau para pemilik usaha untuk tidak menghalangi karyawan yang ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Selain itu, pekerja juga diimbau untuk membaca dengan seksama surat perjanjian kerja sebelum menandatanganinya, terutama yang menyertakan klausul penahanan ijazah atau dokumen pribadi.
Berikut adalah poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Larangan Penahanan Ijazah: Perusahaan dilarang menahan ijazah dan dokumen pribadi karyawan.
- Pengawasan dan Sanksi: Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan dan memberikan sanksi tegas bagi pelanggar.
- Perlindungan Hak Pekerja: Negara harus menjamin hak-hak pekerja sesuai dengan amanat konstitusi.
- Transparansi Perjanjian Kerja: Pekerja harus membaca dan memahami perjanjian kerja sebelum menandatanganinya.
Dengan adanya pengawasan yang ketat dan sanksi yang tegas, diharapkan praktik penahanan ijazah karyawan dapat dihentikan dan hak-hak pekerja dapat terlindungi.