Sidang MK Ungkap Kejanggalan Pemilihan Kolegium Dokter Spesialis: Voting Ala Indonesian Idol Jadi Sorotan
Dalam sidang sengketa Undang-Undang Kesehatan di Mahkamah Konstitusi (MK), terungkap sebuah praktik yang dinilai janggal dalam pemilihan ketua kolegium dokter spesialis. Dr. Zainal Muttaqin, seorang dokter spesialis bedah saraf, memberikan kesaksian yang mencengangkan terkait proses pemilihan yang ia sebut meniru ajang pencarian bakat, Indonesian Idol.
Zainal menjelaskan bahwa pemilihan ketua kolegium, yang seharusnya dilakukan oleh kelompok ahli, justru melibatkan anggota profesi melalui mekanisme voting. Proses ini, menurutnya, diawali dengan penyampaian visi-misi oleh para calon, kemudian dilanjutkan dengan pemungutan suara. Ia mempertanyakan legitimasi proses ini, mengingat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengamanatkan pemilihan dilakukan oleh kelompok ahli, bukan anggota perhimpunan profesi.
"Faktanya, yang memilih itu bukan kelompok ahli. Yang memilih anggota profesi, anggota perhimpunan profesi, sebelumnya dipilih oleh para pengelola program studi dan ketua departemen yang punya program studi itu, dari para guru besar," ujar Zainal dalam persidangan yang disiarkan melalui kanal YouTube MK.
Lebih lanjut, Zainal menyoroti persyaratan yang longgar bagi calon ketua kolegium. Ia menyebutkan bahwa seorang spesialis dengan pengalaman 10 tahun dapat mencalonkan diri, tanpa perlu memiliki pengalaman mendidik atau berstatus guru besar. Hal ini, menurutnya, mereduksi esensi kolegium sebagai lembaga yang seharusnya diisi oleh para ahli terkemuka di bidangnya.
Kritik pedas juga dilontarkan Zainal terkait partisipasi pemilih dalam voting. Ia mengungkapkan bahwa jumlah anggota yang berpartisipasi dalam pemilihan seringkali sangat minim, bahkan tidak mencapai 2,5 persen dari total anggota perhimpunan. Sebagai contoh, dalam pemilihan di bidang bedah saraf, hanya sebagian kecil dari ribuan anggota yang terlibat dalam pemungutan suara.
"Jadi, tadi dibentuk oleh Pasal 272 kelompok ahli, fakta di bedah saraf itu pemilihnya ada 234 dari 570 anggota, ini lumayan, karena jumlah kita sedikit. Anak-anak itu jumlahnya 5.600 yang ikut milih 120 orang, kita bisa cek semuanya nanti pada semua anggota yang anggotanya besar, pemilihnya nggak sampai 2,5 persen, padahal zakat 2,5 persen, itu nggak sampai," paparnya.
Zainal juga mengutip pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) yang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan berdasarkan suara terbanyak dari anggota kolegium. Namun, ia menegaskan bahwa faktanya, pemilih bukanlah anggota kolegium, melainkan anggota organisasi profesi yang tidak terverifikasi, dengan proses voting yang ia analogikan dengan ajang Indonesian Idol.
Gugatan terhadap Undang-Undang Kesehatan ini diajukan oleh Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki dengan nomor perkara 111/PUU-XXII/2024. Pemohon mempermasalahkan pemilihan kolegium dan mengajukan sejumlah petitum, di antaranya:
- Menyatakan Pasal 451 UU No. 17 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Menyatakan Pasal 272 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 sepanjang frasa "merupakan alat kelengkapan Konsil dan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Menyatakan Pasal 1 angka 26 UU No. 17 Tahun 2023 sepanjang frasa "dan merupakan alat kelengkapan Konsil" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Menyatakan Pasal 272 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, serta menyatakan aturan pelaksana mengenai Kolegium dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
- Menyatakan Pasal 421 ayat (2) huruf b sepanjang frasa "serta etika dan disiplin profesi" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Persidangan ini membuka tabir mengenai proses pemilihan kolegium yang dinilai tidak transparan dan tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Kesehatan. Putusan MK akan menjadi penentu arah reformasi tata kelola organisasi profesi kedokteran di Indonesia.