Kejagung Usut Dugaan Korupsi Kredit Macet Sritex yang Berujung Kepailitan dan PHK Massal
Kejagung Dalami Penyimpangan Aliran Dana Kredit Macet Sritex
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengintensifkan penyelidikan terkait dugaan penyimpangan aliran dana kredit macet yang memicu kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan. Fokus utama penyidikan adalah menelusuri keterkaitan antara penyalahgunaan dana oleh petinggi perusahaan dengan kondisi finansial Sritex yang terus memburuk.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa tim penyidik tengah berupaya mengungkap apakah penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukan, termasuk dari fasilitas kredit perbankan, menjadi penyebab utama ketidaksehatan perusahaan. Jika dana kredit tersebut digunakan secara tepat, Sritex seharusnya mampu bertahan dan tidak perlu mengambil langkah PHK yang merugikan banyak pihak. Indikasi kuat adanya praktik korupsi menjadi dasar bagi Kejagung untuk melakukan pendalaman kasus ini.
Anomali Keuangan Sritex Terendus Sejak 2020
Kejanggalan dalam laporan keuangan Sritex mulai terendus sejak tahun 2020. Pada tahun tersebut, perusahaan masih mampu mencatatkan laba sebesar Rp 1,24 triliun. Namun, kinerja keuangan Sritex merosot tajam pada tahun berikutnya, dengan kerugian mencapai Rp 15,65 triliun di tahun 2021. Anomali ini menjadi titik awal bagi penyidik untuk mendeteksi potensi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum terkait.
Penyidik menduga bahwa kredit yang dikucurkan oleh sejumlah bank, termasuk bank daerah dan bank pemerintah, tidak digunakan sesuai dengan tujuan awal. Hal ini memicu ketidakstabilan keuangan Sritex hingga akhirnya dinyatakan pailit. Komisaris Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, diduga kuat terlibat dalam penyalahgunaan dana kredit tersebut.
Aliran Dana Mencurigakan Senilai Ratusan Miliar Rupiah
Saat ini, penyidik tengah fokus menelusuri aliran dana mencurigakan sebesar Rp 692 miliar yang diduga diselewengkan oleh Iwan Setiawan Lukminto, yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Sritex. Dana tersebut diduga digunakan untuk membayar utang dan membeli aset-aset nonproduktif, termasuk beberapa bidang tanah di Solo dan Yogyakarta.
Kejagung telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, termasuk Iwan Setiawan Lukminto serta dua pihak dari perbankan. Total kredit macet Sritex mencapai Rp 3,58 triliun, yang berasal dari berbagai bank daerah dan bank pemerintah.
Berikut rincian kredit yang diberikan kepada Sritex:
- Bank Jateng: Rp 395.663.215.800
- Himbara (Bank BNI, Bank BRI, LPEI): Rp 2,5 triliun
BJB dan Bank DKI telah ditetapkan sebagai pihak yang terlibat dalam tindakan melawan hukum, sementara status Bank Jateng dan Himbara masih sebagai saksi. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.