Perpres Perlindungan Jaksa Kontroversial: Koalisi Sipil Soroti Potensi Pelanggaran Hukum dan Dwifungsi Militer
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan melayangkan kritik tajam terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara Terhadap Jaksa. Mereka mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan peninjauan ulang terhadap regulasi tersebut, dengan alasan bahwa Perpres tersebut berpotensi melanggar norma dan tatanan hukum yang berlaku.
Ardi Manto, Direktur Imparsial yang juga merupakan perwakilan dari koalisi tersebut, menyatakan bahwa penerbitan Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan kebutuhan yang jelas. Meskipun presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Presiden, proses pembentukannya harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pembentukan perundang-undangan yang benar. Oleh karena itu, Koalisi Sipil menilai bahwa Perpres 66/2025 cacat secara hukum dan mendesak agar dievaluasi serta ditinjau ulang oleh Presiden dan DPR.
Salah satu poin krusial yang disoroti oleh koalisi adalah landasan hukum Perpres perlindungan jaksa yang dinilai tidak merujuk pada Undang-Undang (UU) TNI maupun UU Polri. Padahal, Perpres tersebut secara eksplisit mengatur pelibatan kedua institusi tersebut dalam perlindungan jaksa. Koalisi juga berpendapat bahwa substansi Perpres tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7 UU TNI tentang Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Mereka berargumen bahwa Pasal 7 UU TNI hanya membatasi OMSP ke dalam 16 jenis kegiatan, dan perlindungan terhadap tugas dan fungsi Kejaksaan tidak termasuk di dalamnya.
Koalisi Sipil juga menyinggung preseden serupa yang terjadi sebelumnya, yaitu pengangkatan Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet pada tahun 2024. Pada saat itu, pengangkatan tersebut dinilai melanggar aturan, namun kemudian dilegalkan melalui perubahan Perpres. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintah cenderung melegitimasi tindakan yang semula dianggap menyimpang.
Lebih lanjut, koalisi menyoroti potensi kembalinya praktik dwifungsi militer di ranah sipil sebagai akibat dari Perpres 66/2025. Mereka berpendapat bahwa Perpres tersebut membawa militer terlalu jauh masuk ke dalam wilayah sipil, khususnya kejaksaan. Padahal, kejaksaan merupakan aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang, sementara TNI secara tegas merupakan alat pertahanan negara yang diatur dalam konstitusi.
Koalisi juga mempertanyakan urgensi penerbitan Perpres tersebut, mengingat belum ada ancaman nyata yang membenarkan langkah tersebut. Menurut mereka, Presiden sebenarnya memiliki opsi lain, seperti memerintahkan Jaksa Agung untuk memperkuat keamanan internal kejaksaan atau melibatkan kepolisian, tanpa harus menerbitkan perpres baru. Mereka berpendapat bahwa kondisi kejaksaan saat ini masih dalam keadaan normal dalam menangani kasus-kasus hukum, dan tidak ada ancaman militer yang mengharuskan Presiden atau Panglima TNI untuk mengerahkan militer ke kejaksaan.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian terhadap isu-isu hukum, keamanan, dan hak asasi manusia, termasuk Imparsial, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, PBHI, LBH Jakarta, HRWG, WALHI, dan AJI Jakarta.