Refleksi 28 Tahun Reformasi: Antara Harapan dan Realita yang Mengecewakan

Dua puluh delapan tahun berlalu sejak era reformasi bergulir, namun gaung semangat perubahan itu kini terasa semakin sayup di telinga masyarakat Indonesia. Istilah "reformasi", yang dulu membangkitkan harapan akan tatanan yang lebih baik, kini hanya menjadi bahan perbincangan di kalangan akademisi dan intelektual.

Bagi para pemegang tampuk kekuasaan, reformasi seolah hanya menjadi pintu gerbang menuju panggung politik baru. Mereka memainkan kekuasaan dengan wajah demokrasi, namun dengan praktik yang tak jauh berbeda dari rezim sebelumnya. Alih-alih membawa perubahan yang signifikan, reformasi justru menjadi alat legitimasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Nasib Kelas Menengah dan Erosi Demokrasi

Kelas menengah, yang dulu menjadi motor penggerak reformasi, kini terhimpit masalah ekonomi. Sebagian mengalami kemunduran, sementara sebagian besar lainnya hidup dalam ketidakpastian. Ironisnya, generasi muda yang tak memiliki memori tentang masa lalu justru menjadi pendukung utama pemerintahan yang kualitas demokrasinya terus merosot.

Ketika pilihan politik mereka ternyata mengecewakan, mereka memilih untuk acuh tak acuh dan melarikan diri dari kenyataan. Indeks demokrasi Indonesia terus menurun dalam satu dekade terakhir, terutama setelah kepemimpinan Jokowi dan Prabowo. Hak-hak sipil semakin terpinggirkan, dan suara publik diabaikan.

  • Kemunduran Demokrasi:
    • Indeks demokrasi Indonesia terus menurun.
    • Hak-hak sipil terpinggirkan.
    • Suara publik diabaikan.

Bayang-Bayang Militer dan Polisional

Arah politik nasional mengindikasikan ruang yang lebih besar bagi pengaruh militer dan sikap polisional penguasa atas nama pembangunan dan stabilitas. Masyarakat sipil dihantui oleh dominasi polisi, dan kini ditambah dengan kebangkitan militer. Jika kebangkitan militer ini bertujuan untuk mengurangi dominasi polisi, mungkin ada hasil yang saling menguntungkan. Tetapi, jika kedua institusi ini justru semakin kuat, masyarakat sipil akan semakin tertekan.

Desentralisasi yang Belum Optimal

Desentralisasi kekuasaan belum mampu mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah. Daerah masih bergantung pada pusat untuk mendapatkan anggaran karena objek-objek pajak utama masih dikuasai oleh pemerintah pusat. Akibatnya, otonomi daerah justru melahirkan korupsi, dinasti politik, dan penyimpangan kekuasaan lainnya.

Penanganan HAM dan Pemberantasan Korupsi yang Mandek

Kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu masih belum terselesaikan. Hampir 60 persen responden menilai pemerintah belum mampu mengusut tuntas kasus Tragedi 1998. Sementara itu, pemberantasan korupsi justru mengalami penurunan drastis.

Reformasi di Titik Nadir

Reformasi kini berada di persimpangan jalan. Semangatnya hanya terlihat di kalangan mahasiswa dan aktivis intelektual. Para elite politik dan ekonomi yang bermental Orde Baru telah mengambil alih reformasi untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka berkuasa dan mengumpulkan sumber daya sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat.

Seperti yang dikatakan Leo Tolstoy, jika hati para elite kosong, tidak ada hukum atau reformasi politik yang bisa mengisinya. Niat baik pelaku kekuasaan sangat berbeda dengan niat baik Deng Xiaoping di China. Akibatnya, Indonesia berjalan di tempat dengan kemunafikannya, sementara China melaju pesat menuju kemajuan.

Elite-elite di Indonesia menganggap era reformasi sebagai awal untuk menghidupkan kembali Orde Baru. Keyakinan ini akan menjauhkan Indonesia dari mimpi reformasi yang diidam-idamkan 28 tahun lalu dan dari harapan menjadi negara adikuasa di masa depan.