Kebijakan Penyerahan Ijazah Sukarela di Jawa Barat Tuai Kecaman dari NU Bekasi dan Pengelola Pesantren

Kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkait penyerahan ijazah secara sukarela oleh pihak sekolah kepada peserta didik menuai gelombang protes keras dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Bekasi dan para pengelola pondok pesantren.

KH. Atok Romli Mustofa, Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, mengungkapkan kekecewaannya atas kebijakan yang dianggap tidak memihak kepentingan pesantren. Beliau bahkan menyebut kebijakan tersebut sebagai tindakan yang "zalim" dan sangat disayangkan.

Protes ini disuarakan dalam forum audiensi yang dihadiri oleh pengurus PCNU, Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI)-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta perwakilan pesantren pada hari Rabu (21/5/2025) di Bandung. Mereka diterima oleh pimpinan DPRD Jawa Barat, Acep Jamaludin, dan anggota fraksi PKB, Rohadi, di Kantor DPRD Jawa Barat.

Kritik Pedas Terhadap Kebijakan

KH. Atok Romli menyoroti bahwa kebijakan ini justru menimbulkan keresahan di kalangan pesantren. Ia menilai kebijakan tersebut terkesan terburu-buru, intimidatif, dan hanya didasarkan pada intuisi, tanpa melalui kajian yang komprehensif dan melibatkan partisipasi berbagai pihak terkait.

Lebih lanjut, kebijakan ini disebut-sebut disertai ancaman terhadap pesantren atau sekolah yang menolak, berupa penangguhan program Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) hingga pencabutan izin operasional.

KH. Kholid, pengasuh Ponpes Yapink Pusat, menekankan bahwa pesantren telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka dan para pendirinya sejak awal fokus pada kontribusi kepada masyarakat melalui pendidikan mandiri. Ia khawatir kebijakan ini akan menghambat pengelolaan pesantren dalam jangka pendek, karena alumni dari berbagai latar belakang akan berbondong-bondong mendatangi pesantren untuk meminta hak mereka berdasarkan arahan Gubernur Jawa Barat.

"Di sisi lain, ada hak pesantren yang tidak terpenuhi. Tentu hal tersebut akan mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan pesantren," ujar KH. Kholid.

Dampak Finansial dan Potensi Penutupan Pesantren

Kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat menyebabkan banyak pesantren mengalami kesulitan keuangan dan bahkan gulung tikar dalam waktu dekat. KH. Kholid mencontohkan kasus di Kabupaten Bekasi, di mana satu pesantren saja telah mengeluarkan biaya sebesar Rp 1-1,7 miliar yang belum dilunasi oleh para alumni.

Ketua BMPS Kabupaten Bekasi, H. M. Syauqi, menambahkan bahwa kebijakan ini kurang partisipatif karena tidak melibatkan unsur-unsur terkait. Ia menilai kebijakan tersebut dapat berdampak sangat buruk bagi sektor pendidikan di masa depan.

H. M. Syauqi mengakui bahwa semua warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan gratis karena hal tersebut merupakan tanggung jawab penuh pemerintah.

"Tapi, apakah pemerintah sudah dan mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin, tidak," tegas Ketua BMPS Kabupaten Bekasi.

Dengan demikian, protes keras dari NU Bekasi dan pengelola pesantren terhadap kebijakan penyerahan ijazah sukarela ini mencerminkan kekhawatiran mendalam akan masa depan pendidikan pesantren dan keberlangsungan operasionalnya.