Perebutan Dominasi AI: Trump Dorong Investasi AS di Negara Teluk, Hadapi Kekhawatiran Kebocoran Teknologi ke China
Ambisi Timur Tengah dalam Pengembangan Kecerdasan Buatan
Kunjungan mantan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah baru-baru ini memicu sorotan tajam terkait ambisi kawasan tersebut dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI). Makan siang eksklusif di Riyadh, Arab Saudi, yang dihadiri oleh tokoh-tokoh teknologi global seperti Elon Musk (Tesla), Jensen Huang (Nvidia), Sam Altman (OpenAI), Ruth Porat (Google), dan Andy Jassy (Amazon), menandai babak baru dalam investasi AI di wilayah tersebut.
Kesepakatan kerjasama senilai puluhan miliar dolar antara perusahaan teknologi AS dan Arab Saudi menjadi agenda utama kunjungan Trump. Nvidia menyetujui penjualan ratusan ribu chip berteknologi tinggi kepada Humain, perusahaan AI baru yang didukung pemerintah Saudi. Selain itu, AMD dan Qualcomm juga menyatakan komitmen untuk bekerja sama dengan negara tersebut.
Kekhawatiran AS terhadap Pengaruh China
Langkah ini diambil saat Arab Saudi meningkatkan investasi dalam AI dan pemerintahan Trump berupaya memperkuat dominasi AS dalam pembelajaran mesin dan produksi semikonduktor. Namun, kesepakatan ini memicu kekhawatiran di Washington, terutama mengenai potensi keuntungan bagi China dalam persaingan AI global.
Kritikus berpendapat bahwa penyediaan chip berteknologi tinggi ke negara-negara Timur Tengah dapat membuka celah bagi China untuk mengakses teknologi tersebut. Hubungan komersial dan politik yang kuat antara China dan Timur Tengah meningkatkan kekhawatiran bahwa chip AS dapat berakhir di tangan China.
Untuk memfasilitasi penjualan chip AI canggih ke Timur Tengah, pemerintahan Trump membatalkan aturan yang diterapkan oleh mantan Presiden Joe Biden, yang melarang penjualan chip AI paling modern ke negara-negara tertentu, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Perusahaan seperti Microsoft dan Nvidia mengkritik aturan tersebut, dengan alasan bahwa hal itu menghambat inovasi.
Kekhawatiran tentang akses China terhadap teknologi chip AS tercermin dalam undang-undang baru yang disahkan oleh Komite Khusus Parlemen AS untuk China. Undang-undang ini bertujuan untuk mencegah chip AI canggih AS jatuh ke tangan pesaing seperti Partai Komunis China (CCP).
Perspektif Para Ahli
Martin Chorzempa dari Peterson Institute for International Economics menyoroti bahwa potensi keuntungan China bergantung pada bagaimana negara tersebut mengakses chip atau model yang diproduksi AS. Kekhawatiran muncul bahwa China dapat memperolehnya secara langsung atau mengakses chip dari jarak jauh.
David Sacks, ketua Dewan Penasihat Trump untuk Sains dan Teknologi, membantah kritik bahwa kesepakatan AS dengan negara-negara Teluk akan menguntungkan China. Ia berpendapat bahwa dengan melibatkan negara-negara tersebut dalam ekosistem AI, AS dapat menarik mereka ke dalam orbitnya, sementara penolakan akan mendorong mereka ke pelukan China.
Ambisi Negara-Negara Teluk di Sektor AI
Terlepas dari kekhawatiran AS, Arab Saudi dan UEA memiliki ambisi besar dalam pengembangan AI untuk mengurangi ketergantungan ekonomi mereka pada minyak. Arab Saudi melihat AI sebagai sektor strategis untuk diversifikasi, didukung oleh pasokan energi yang melimpah. UEA dianggap lebih maju dalam pengembangan AI karena telah memulainya lebih awal.
Kunjungan Trump juga menghasilkan kesepakatan dengan UEA untuk membangun kampus AI terbesar di luar AS, memberikan akses chip canggih AS kepada negara tersebut. UEA telah membentuk grup teknologi bernama G42 sebagai platform utama bisnis AI-nya, yang berhasil menggandeng Microsoft untuk investasi lebih dari 1,5 miliar USD.
Negara-negara Teluk menawarkan peluang menarik bagi perusahaan AS yang mencari investasi, didukung oleh antusiasme dan akses ke dana milik negara yang sangat besar. Humain, perusahaan AI Saudi, didanai oleh Dana Bantuan Investasi Publik (PIF) dengan anggaran sekitar 1 triliun USD. Aramco juga menjalin kemitraan dengan pembuat chip AS, Cerebras dan Groq.
Tantangan dan Potensi Risiko
Martin Chorzempa menekankan bahwa negara-negara Teluk memiliki modal dan chip canggih untuk menarik bakat dan mengembangkan AI. Karen E. Young menambahkan bahwa akses ke teknologi canggih adalah prioritas nasional Arab Saudi, dan pendekatan transaksional Trump membantu mencapai tujuan tersebut.
Namun, Chorzempa melihat risiko bahwa perusahaan lokal dapat mengembangkan model mereka sendiri untuk bersaing dengan AS. Ia juga menunjukkan kemungkinan bahwa China dapat mengirimkan warganya untuk bekerja di negara-negara tersebut dan mempelajari teknologi AI.
"Satu hal yang paling menarik adalah, apakah para pengembang AI Cina, orang-orang yang berbakat yang yang tidak bisa datang ke Amerika Serikat untuk mengakses cip mutakhir AS, dapat mengaksesnya dengan bekerja di Timur Tengah," katanya. "Ini tentu akan menjadi kekhawatiran utama AS."
Kerjasama ini menyimpan potensi risiko dan tantangan, termasuk potensi persaingan dan kekhawatiran tentang transfer teknologi ke China. Namun, dengan investasi besar-besaran dan ambisi yang kuat, negara-negara Teluk berpotensi menjadi pemain utama dalam lanskap AI global.