23 Mei 1997: Banjarmasin Berduka, Mengenang Tragedi Jumat Kelabu

23 Mei 1997: Banjarmasin Berduka, Mengenang Tragedi Jumat Kelabu

Dua puluh delapan tahun silam, tepatnya pada tanggal 23 Mei 1997, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dilanda sebuah tragedi kelam yang dikenal dengan sebutan "Jumat Kelabu". Peristiwa ini bukan hanya meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Banua, tetapi juga menjadi catatan kelam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kerusuhan massal yang dipicu oleh ketegangan politik menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1997 ini, merenggut ratusan nyawa dan mengguncang stabilitas sosial.

Setiap tanggal 23 Mei, warga Banjarmasin dan sekitarnya mengenang peristiwa pilu ini, terutama mereka yang kehilangan orang-orang terkasih dan harta benda. Tragedi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghindari segala bentuk provokasi yang dapat memecah belah masyarakat.

Akar Konflik: Ketegangan Politik dan Pemilu 1997

Tragedi Jumat Kelabu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ada serangkaian peristiwa yang memicu kemarahan massa. Pada tahun 1997, Partai Golkar, sebagai partai penguasa Orde Baru, kembali menjadi peserta utama dalam Pemilu. Namun, muncul kecurigaan akan adanya praktik kecurangan dan manipulasi suara. Ketidakpuasan terhadap rezim yang berkuasa semakin memuncak, dan masyarakat mulai menyuarakan aspirasi mereka.

Di Banjarmasin, tensi politik semakin meningkat menjelang hari pemilihan. Kampanye-kampanye politik berlangsung dengan penuh semangat, namun diwarnai pula dengan intimidasi dan tekanan terhadap kelompok oposisi. Situasi ini menciptakan atmosfer yang mudah tersulut, dan menunggu momentum untuk meledak.

Insiden di Masjid Noor: Titik Awal Kerusuhan

Puncak ketegangan terjadi pada Jumat pagi, 23 Mei 1997, di sekitar Masjid Noor, sebuah masjid besar dan berpengaruh di Banjarmasin. Massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berkumpul di masjid tersebut untuk melaksanakan shalat Jumat dan mengikuti konvoi kampanye terbuka terakhir. Namun, beredar kabar bahwa massa dari Partai Golkar akan melintasi jalur yang sama, memicu kekhawatiran dan ketegangan.

Saat shalat Jumat berlangsung, muncul laporan tentang kehadiran orang-orang tak dikenal yang diduga memata-matai kegiatan di masjid. Beberapa saksi mata melihat kendaraan dengan atribut partai penguasa melintas, memprovokasi kemarahan jemaah. Insiden pelemparan batu menjadi pemicu utama kerusuhan. Massa yang emosi keluar dari masjid dan menyerbu jalan-jalan utama di kota, terutama kawasan pertokoan dan tempat ibadah non-Muslim.

Amuk Massa: Pembakaran dan Penjarahan

Kerusuhan dengan cepat meluas ke berbagai penjuru kota. Massa yang awalnya berkumpul untuk kampanye berubah menjadi gelombang protes. Ribuan orang turun ke jalan, merusak dan membakar toko-toko milik warga Tionghoa, gedung-gedung perkantoran pemerintah, dan simbol-simbol yang dianggap terkait dengan penguasa.

Mitra Plaza, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Banjarmasin pada saat itu, menjadi sasaran utama amukan massa. Gedung tersebut dirusak, dijarah, dan dibakar hingga menelan korban jiwa. Puluhan orang terjebak dalam kobaran api dan tidak sempat menyelamatkan diri.

Selain itu, rumah ibadah seperti gereja dan vihara juga menjadi target serangan. Banyak warga keturunan Tionghoa melarikan diri dan mencari perlindungan di tempat yang lebih aman. Situasi semakin kacau dan tidak terkendali.

Korban dan Kerugian

Tragedi Jumat Kelabu mengakibatkan ratusan orang tewas dan luka-luka. Banyak korban ditemukan hangus terbakar di dalam ruko yang dijarah dan dibakar. Selain itu, kerusuhan juga menyebabkan kerugian materiil yang sangat besar. Rumah, toko, tempat ibadah, kendaraan, dan kantor pemerintah hancur. Total kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar rupiah.

Pemulihan dan Refleksi

Setelah beberapa hari kekacauan, aparat keamanan berhasil mengendalikan situasi. Jenazah korban kerusuhan yang tidak dapat dikenali dimakamkan secara massal. Pemerintah daerah membentuk tim investigasi untuk mencari penyebab dan dalang kerusuhan. Namun, penanganan tragedi ini dinilai lamban dan tidak transparan.

Hingga kini, luka Jumat Kelabu masih membekas dalam ingatan warga Banjarmasin. Tragedi ini menjadi pengingat akan pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, serta menghindari segala bentuk provokasi yang dapat memecah belah masyarakat. Setiap tanggal 23 Mei, sebagian warga Banjarmasin mengenang peristiwa ini sebagai momen refleksi dan introspeksi.

Tragedi Jumat Kelabu mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan dalam proses politik, penguatan toleransi antarumat beragama, dan perlindungan terhadap kelompok minoritas. Semoga peristiwa ini tidak pernah terulang kembali di Bumi Pertiwi.